Sejak periode kedua Abasiyyah yang dimulai setelah pertengahan abad ketiga hijriah, negara kekhilafaan Islam terus melemah secara progresif hingga akhirnya harus pecah menjadi tiga khilafah. Khilafah Abasiyah berdiri di Timur; khilafah Fatimiyyah di Mesir, sebagian wilayah Afrika Utara dan Syria; dan khilafah Umawiyah di Andalus. Pada saat kondisi umat yang seperti ini perang salib terjadi.
Peta Politik Regional sebelum Perang Salib :
Empat puluh tahun sebelum terjadinya perang salib, bangsa Saljuk Turki telah berhasil mendominasi Baghdad dan mengambil kekuasaannya di bawah kekhalifaan nominal Abasiyyah. Orang Saljuk berusaha untuk dapat menguasai sebagian besar wilayah Parsi, wilayah utara Iraq, Armenia dan Asia kecil pada tahun 1040 M.
Kemudian sultan Saljuk, Toghrol Bic, berhasil menguasai wilayah Bain pada tahun 1055 M.
Orang Saljuk mulai menyebarkan kekuasaan mereka atas Byzantine di Asia Minor. Pada tanggal 19 Agustus 1081 M, terjadi perang Malathkard di bawah komando Saljuk yang bernama Alb Arsalan yang benar-benar menimbulkan malapetaka besar bagi orang-orang Byzantin hingga akhir abad ke 11 M.
Pada tahun 1071 M. bangsa Saljuk meluaskan cengkraman kekuasaan mereka di sebagian besar wilayah Palestina kecuali Arsout. Dengan kekuasaan ini mereka mengakhiri dominasi Fatimiyah dari tanah ini dan terus meluaskan ekspansinya atas wilayah Syiria yang dikuasai oleh Fatimiyah dan menguasai sebagian daerahnya.
Pada tahun 1092 M-485 H, Sultan Saljuk Malikshah meninggal dunia. Paska kematiannya menandakan permulaan kehancuran dominasi orang Saljuk dan meletusnya berbagai peperangan sengit antar mereka berkecamuk untuk memperebutkan dominasi dan kekuasaan. Pada tahun 1096 M, kerajaan mereka terbagi menjadi lima : Kesultanan Persia (di bawah kekuasaan Birkiyarouq), Kerajaan Khurasan dan wilayah di seberang sungai (di bawah kekuasaan Singer), Kerajaan Aleppo (di bawah penguasa Radwan), Kerajaan Damaskus (di bawah penguasa Daqaq) dan Kesultanan Saljuk Romawi (di bawah penguasa Qalj Arsalan). Sebagian besar wilayah Palestina berada di bawah rezim Damaskus. Pada saat dua penguasa Syria (Radwan dan Daqaq) melemah, banyak penguasa partikelir bermunculan namun tidak ada satupun yang dapat mendominasi lebih dari satu kota.
Pasukan Salib memulai serangan militer mereka pada tahun 1098 M (491 H) sementara daerah-daerah muslim di Syria, Iraq dan lainnya tercabik-cabik karena berbagai perbedaan dan konflik berdarah yang terjadi. Dua saudara dari keturunan Titish, Radwan dan Daqaq, saling melancarkan serangan dan terlibat dalam pertempuran pada tahun 490 H. Banyak lagi pertempuran lain yang terjadi antara Muhammad bin Malikhshah Birkiyarouq dan adiknya karena konflik perebutan kekuasaan di mana masing-masing saling memenangkan pertempuran dan membuat pengaduan kepada mahkamah kekhilafaan secara silih berganti sepanjang periode 492-497 H.
Ekspedisi Militer Salib Pertama dan Hasilnya
Pada masa itu Eropa mulai memfokuskan pandangan mereka ke arah tanah suci, setelah Paus Urban Kedua (1088-1099 M) berseru kepada para hadirin di Dewan Claremont pada tanggal 26 November 1095 M untuk merestorasi tanah suci dengan cara merampasnya kembali dari tangan umat Islam.
Berbagai dewan didirikan di berbagai tempat yaitu di Liouz, Angariz, Man, Tours, Bouwatieeh, Bordeaux, Toulouse dan Neim yang ia sebut sebagai konsolidasi untuk melancarkan Perang Salib pada periode 1095-1096 M. Ia menjanjikan dan mengkampanyekan bahwa siapapun sukarelawan yang ingin berpartisipasi dalam peperangan yang mereka galang akan diampuni seluruh dosa-dosanya. Sebagaimana ia juga menjanjikan bahwa setiap properti tentara Salib akan dipelihara di bawah pengawasan gereja selama keabsenan mereka. Dan setiap tentara diminta untuk menjahitkan lambang salib yang terbuat dari kain pada pakaian bagian luar.
Para Salibis telah melancarkan ekspedisi publik atau yang disebut dengan ekspedisi para penyeru. Ini adalah ekspedisi yang sangat minus persenjataan dan koordinasi. Salah satu dari ekspedisi ini adalah yang dilakukan oleh Peter seorang Hermit yang merupakan orang yang punya retorika tinggi yang dikenal karena menunggang keledai pincang dengan kaki telanjang dan pakaian yang compang camping. Namun ia mampu untuk menggalang dan memobilisasi lebih kurang 15 ribu sukarelawan di Perancis. Tapi di tengah perjalanan ke tempat yang mereka tuju, ada peristiwa pembantaian yang terjadi pada lebih kurang 400 ribu sukarelawan, ini dikarenakan perselisihan yang mencuat dan memanas dari persoalan sepele, perebutan makanan. Pasukan yang dipimpin oleh Walter yang pailit (the Penniless), bergabung dengan pasukan di atas ketika bertemu di daerah Konstantinople dan memasuki wilayah pesisir Asia bersama-sama. Di sana, terjadi pertempuran dengan bangsa Saljuk yang dapat mengalahkan mereka serta membantai lebih kurang dari 22 ribu Salibis. Dari pertempuran ini hanya 3 ribu tentara Salibis yang dapat survive. Adapun dua ekspedisi militer Volkmar dan Amikh, mereka mulai membantai orang-orang Yahudi di sepanjang perjalanan. Namun akhirnya kedua ekspedisi tersebut harus terkucar-kacir di Hungaria!
Untuk pertama kali, para penunggang kuda profesional dan pembesar Eropa mulai berpartisipasi dalam ekspedisi militer Salib kali ini. Serangan mereka dilancarkan pada musim panas tahun 1097 M dengan tujuan untuk dapat menduduki wilayah-wilayah muslim. Pada bulan Maret 1098 M, balatentara Salibis dapat membentuk sebuah negara Al Raha di bawah kepemimpinan Paul Baldwin. Mereka kemudian mengepung Antakiya selama 9 bulan. Penguasa Antakiya, Baggisia adalah seorang yang punya ide baik dan mengambil langkah ekstra hati-hati dibanding dengan yang lain, telah memperlihatkan keberaniannya yang membuaat kebanyakan pasukan Salibis binasa dan kalau mereka tetap survive dalam jumlah yang masif seperti awal keberangkatan niscaya mereka akan dapat mendominasi negara-negara Islam. Namun seorang Armenia yang bertugas menjaga dinding-dinding kota dapat dihubungi oleh pasukan Salib dengan mendapat imbalan uang dan properti. Maka ia bukakan pintu gerbang dari menara yang ia kawal. Karena ulah pengawal ini akhirnya pasukan Salib dapat menduduki kota dan berhasil mendirikan kota kedua pada tanggal 3 Juni 1098 M (491 H) di bawah kepemimpinan Bohemond dari Normandy.
Pada tahun 1097 M, di saat bangsa Saljuk harus menghadapi ekspansi pasukan Salibis pada wilayah utara Syria, orang-orang Fatimiyah memanfaatkan kesempatan ini untuk menginvasi dan menduduki Tyre, lalu mendominasi Al Quds pada bulan Februari 1098 M di saat pasukan Salib sedang mengepung Antakiya. Di Tripoli, Ibn Ammar yang merupakan seorang hakim dan salah satu pengikut Fatimiyah telah mendeklarasikan kemerdekaan wilayahnya. Di saat tentara Salib masih mengepung Antakiya, penguasa Fatimiyah mengirim delegasi kepada mereka dan mengutarakan berkeinginan mereka untuk beraliansi dengan mengusulkan agar mereka dapat memerangi orang-orang Saljuk dan nantinya wilayah utara “Syria” berada di bawah kekuasaan Salibis dan Palestina di bawah dominasi Fatimiyah. Untuk itu, maka pasukan Salib mengirim utusan ke Mesir untuk mewujudkan “perhatian dan kebaikan mereka”.
Di saat orang Saljuk sibuk mempertahankan wilayahnya dari ancaman Salibis, orang-orang Fatimiyah asyik dengan ambisi ekspansif mereka meluaskan dominasinya di Palestina pada wilayah yang dikuasai Saljuk sehingga perbatasan mereka mencapai sungai Al Kalb di bagian utara sungai Jordan di bagian Timur!
Muncul berbagai pengkhianatan dan apatisme dari negara-negara kota yang punya keinginan kuat untuk dapat menarik simpati dan menjalin persahabatan dengan orang Salibis yang terus berekspansi. Ini terjadi di saat penguasa wilayah Sheezat menghubungi orang Salib dan menyepakati untuk tidak melawan mereka serta menyediakan apa yang mereka butuhkan seperti makanan dan suplai bahan pangan lainnya. Penguasa ini juga menyediakan dua orang penunjuk jalan yang akan membimbing perjalanan mereka!! Dan imbalannya Salibis memberikan kota Homos sebagai hadiah!! Dan dibuatlah perjanjian antara kedua pihak ini di kota Mosyaf. Adapun Kota Tripoli bersedia membayar pajak dan menyediakan penunjuk jalan bagi kekuatan Kristen ini. Kota Beirut membayar uang dan menawarkan ketaatan kepada mereka bila dapat menaklukkan Al Quds.
Raymond Tolouse (pangeran provinsi dan Toulouse di Perancis) terus memimpin perjalanan Salibis menuju Al Quds. Jumlah mereka hanya sekitar seribu tentara berkuda dan 5 ribu pasukan infantri. Pada waktu musim semi tahun 1099 M, mereka berhasil memasuki Palestina dengan melewati Acre di mana penguasanya menyediakan mereka berbagai suplai, sebuah langkah yang kemudian diikuti oleh penguasa Qeisarya dan Arsouf. Setelah itu mereka menduduki Al Ramleh, Lod dan Bethlehem. Pada tanggal 7 Juni 1099 M, pengepungan wilayah Al Quds dimulai. Iftikhar Al Dawlah adalah orang yang ditunjuk oleh Fatimiyah untuk berkuasa di sana. Kota ini dikuasai pada tanggal 15 Juli 1099 (23 Sha’ban 429 H). Bala tentara Salibis terus membantai umat Islam selama satu minggu. Mereka berhasil membantai lebih dari 70 ribu muslim di dalam masjid Al Aqsa, termasuk para pemimpin, cendikiawan muslim dan orang-orang yang sedang beribadah. Baik negara Fatimiyah dan Abbasid tidak berbuat apa-apa untuk menolong, mereka hanya diam dan membisu terhadap peristiwa-peristiwa ini. Al Quds dikuasai oleh pemimpin Salibis, Godfry Gouillon, yang dengan berendah hati menyebut dirinya dengan julukan “Pembela Al Quds”. Dua kota, Nablus dan Hebron harus menyerah pada pasukan Salibis ini.
Dikatakan bahwa pasukan Salibis hanya bersisa 300 pasukan berkuda dan 2 ribu pasukan infantri, oleh karena itu –mereka tidak dapat berekspansi lagi untuk mendominasi teritori yang lebih luas karena mayoritas mereka mudik setelah berhasil menduduki Al Quds. Maka dari itu, kerajaan-kerajaan Salibis menjelma ibaratkan gugusan pulau-pulau yang dikelilingi oleh samudera para musuh. Kendati demikian, kerajaan-kerajaan ini terus dapat survive untuk masa lebih kurang 200 tahun. Dan yang paling akhir hancur adalah karena kekurangan suplai dan ekspedisi yang terputus-putus, karena umat Islam yang tidak berdaya, terpecah belah dalam berbagai kelompok yang mereduksi jumlah kekuatan balatentaranya. Ditambah dengan ketidakmampuan mereka untuk dapat mengambil kesempatan melawan pasukan Salibis yang berjumlah kecil dan berekspansi di wilayah yang luas. Namun umat Islam terlambat sehingga pasukan Salibis dapat kembali mengkonsolidasikan kekuatan dan sekarang bukan tugas yang ringan lagi untuk mengusir mereka keluar dari wilayah-wilayah yang mereka duduki.
Salibis terus menduduki berbagai kota di Palestina yang jatuh ke tangan mereka. Jaffa ditaklukkan di saat kota Al Quds dikepung oleh kapal-kapal perang pimpinan Genoan (di laut Meditarania) pada tanggal 15 Juni 1099 M. Mereka juga dapat menaklukkan bagian timur dari danau Tiberia (wilayah Al Sawad) pada bulan Mai 1100 M. Salibis juga dapat memaksa kota Haifa tunduk di bawah cengkraman mereka pada bulan Syawwal 94 H (Agustus 1100 M) yang dibantu oleh armada besar dari Venisia. Mereka menduduki Arsouq secara damai dan mengusir penduduknya. Qeisarya juga ditaklukkan dengan kekerasan pada tanggal 17 Mei 1109 M. Mereka membunuh penduduknya dan menjarah harta milik mereka pada tanggal 17 Mei 1101 M. Begitulah, pasukan Salibis memaksakan kekuasaan mereka atas Palestina kecuali wilayah Ashkelon yang tunduk di bawah naungan Mesir (Fatimiyah) yang mensuplai mereka amunisi, sumber daya manusia dan dana setiap tahun. Namun Salibis sudah biasa setiap tahun mengepung Ashkelon, namun upaya untuk mendudukinya selalu gagal hingga tahun 1153 M (548 H). Pada tahun itu, penduduk Ashkelon berusaha keras untuk dapat memukul mundur pasukan Salib ini. Namun, ketika Salibis sudah putus asa dan hampir menarik mundur pasukan, ada kabar gembira yang sampai kepada mereka bahwa masyarakat Ashkelon tengah bertikai. Maka mereka terus menunggu dengan sabar. Alasan perselisihan antar kelompok di Ashkelon adalah persoalan perebutan kekuasaan; masing-masing kelompok mengklaim bahwa hanya mereka sendiri yang meraih kemenangan dan berhak atas kekuasaan. Bagaimanapun, perselisihan tersebut terus berkembang hingga harus menelan korban satu orang dari masing-masing kelompok. Kondisi ini terus menggiring konflik yang ada kepada situasi yang lebih memburuk, dan konsekuensinya adalah pecahnya perang saudara antara mereka dan banyak nyawa yang harus menjadi korban. Di tengah situasi seperti ini, Salibis berharap ada pintu kesempatan untuk menyusup. Dan tidak lama kemudian mereka terus merayap maju ke wilayah Ashkelon dan berhasil mendudukinya dengan mudah.
Walau pasukan bersenjata Salibis berjumlah kecil, namun mereka berusaha untuk dapat mempertahankan dominasinya secara kuat dengan membangun benteng-benteng pertahanan yang solid yang dibangun bagaikan pulau-pulau yang terisolasi di tengah banyaknya wilayah di Syria. Sebagaimana pertumpahan darah antar sesama muslim terus mengalir, beberapa dari mereka memohon bantuan dari Salibis untuk dapat mengalahkan lawan mereka. Secara keseluruhan umat Islam dalam kondisi yang sangat lemah dan pada sisi lain Salibis terus menjadi kuat dan semakin dominan. Dalam kondisi seperti ini mereka berperan laksana polisi yang bertuga menjaga stabilitas wilayah.
Peperangan antar Baktas dan Tagatken yang memperebutkan Damaskus terus berkecamuk yang akhirnya mengharuskan Baktash berusaha untuk mencari bantuan dari raja Salibis pada tahun 498 H dan dari seluruh “orang yang menghendaki kerusakan”. Namun, bantuan sang raja yang sangat diharap hanya bisa melicinkan Baktash untuk terus terjerumus dalam kerusakan yang akhirnya mendorongnya lebih jauh ke anak tangga kejatuhan. Pada pertempuran yang terjadi antara orang Fatimiyah dan Salibis pada tahun 498 H di wilayah antara Askelon dan Jaffa, balatentara Fatimiyah didukung dengan kekuatan yang lebih dari 300 pasukan berkuda dari Damaskus. Di lain pihak pasukan Salibis didukung oleh orang Islam yang dikomandoi oleh Bakhtash bin Tatash. Ketika balatentara Sultan yang dipimpin oleh Barsaq bin Barsaq datang dari Iraq pada tahun 509 H menuju Damaskus untuk berperang dengan Salibis, para penguasa Halab dan Damaskus mengkhawatirkan kekuasaan mereka yang bisa saja terancam. Akhirnya memotivasi mereka untuk bersikukuh berkolaborasi dengan pasukan Salibis yang berbasis di Antakiya di bawah pimpinan Tagatken untuk melawan balatentara Sultan. Ia berperang bahu membahu dengan pasukan Salibis dalam serangan yang dilancarkan terhadap Bait al Maqdis dan dapat menguasai kembali kota Rafnya setelah Salibis berhasil untuk mendudukinya.
Namun secara umum, jihad Islam melawan pasukan Salibis terus berlanjut, namun disayangkan hal itu berlanjut dengan minus perencanaan strategis atau koordinasi. Beberapa alasan lain atas berlanjutnya jihad seperti ini yaitu secara faktual bahwa banyak pemimpin muslim yang kerap muncul dan menghilang dalam waktu yang tidak terlalu lama yang berakibat pada instabilitas kepemimpinan. Begitu juga konflik dengan Salibis yang berlangsung di berbagai front dan terjadi secara simultan di negara-negara Syam. Umat Islam membutuhkan satu pangkalan besar dan kuat untuk menjadi tempat bertolaknya jihad. Dan kebanyakan pertempuran yang terjadi adalah antara kota atau benteng Islam—yang berusaha untuk membela diri atau memperluas kekuasaannya—dan Eropa.
Kemenangan dan kekalahan dalam pertempuran terus dialami oleh kedua belah pihak baik umat Islam ataupun pasukan Salibis. Dan tidak ada satu tahun pun yang berlalu tanpa dilewati oleh peperangan dan secara silih berganti menduduki kota-kota dan benteng-benteng. Bukan perkara sulit bagi muslim untuk masuk ke tengah Palestina dan menceburkan diri dalam peperangan yang terjadi di kota Ramlah, Jaffa atau lainnya. Namun orang Salibis terus melestarikan hegemoni dan menancapkan jemari kekuasaannya atas wilayah dan areal yang telah ia taklukkan.
Beberapa pemimpin Islam yang baru muncul kelihatannya tidak terlalu kuat untuk menyatukan kekuatan umat dalam melakukan perlawanan terhadap Salibis. Kendati demikian para pemimpin ini tetap memelihara spirit resistensi terhadap musuh sehingga mereka hidup dalam ketidakstabilan dan merasa tidak aman. Mereka berusaha untuk membunuh dan menawan beberapa komando dan para pemimpin pucuk Salibis. Contohnya adalah Mu’een Al Dawlah Saqman berperang dengan Shams Al Dawlah Jakramesh dan ketika Harran dikepung oleh kekuatan Salibis pada tahun 497 H, mereka berdua mulai berhubungan satu sama lain serta bersumpah untuk berkorban demi keridhaan Allah dan imbalan-Nya. Maka keduanya sepakat untuk bergerak maju dan bertemu di daerah Al Khabour dengan kekuatan lebih dari 10 ribu dari berbagai bangsa. Di antara mereka ada yang berasal dari Turki, Arab dan Kurdi. Pasukan gabungan ini bertemu dengan tentara Salibis di sungai Al Bleekh dan berhasil menaklukkan pasukan musuh. Kekuatan Islam dapat menangkap pemimpin Salibis Burdawel dan menjualbelikannya dengan harga 35 dinar. Mereka juga dapat membebaskan 160 tawanan perang muslim yang berada di bawah tahanan Salibis. Tidak kurang dari 12 ribu tentara Salibis terbunuh dalam pertempuran ini.
Imaduddin Zanki mengusung Bendera Jihad :
Dengan munculnya Imaduddin Zanki bin Aqsanqar--yang mendirikan negara Zanki di Mousel dan Halab—telah menjadikan jihad melawan Salibis memasuki fase baru. Zanki ditunjuk sebagai penguasa di Mousel pada tahun 521 H setelah memperlihatkan kecakapan dan efisiensi yang tinggi yang dalam mengurusi negara Basra dan Waset di Iraq. Pada bulan suci Muharram tahun 522 H, ia berusaha untuk merebut kekuasaan di Halab. Zanki memulai derap langkahnya untuk memerangi Salibis dan mengalahkan mereka dalam beberapa peperangan.
Upaya-upaya Zanki untuk menyatukan umat Islam guna melawan Salibis tidak pernah berhenti. Ia menduduki kembali kota-kota Hama, Homs, Ba’albek, Sarji, Dara, Ma’rra, Kafr Taleb, Al Akrad, Sahrazour, Al Hadeetha dan banyak lagi kota-kota lain serta benteng Al Soor di wilayah Abu Bakar, benteng Al Hameediya, benteng Ba’reen dan benteng Al Ashhab dan lainnya dari Kurd Hakaria.
Pada tahun 534 H, Zanki berusaha dua kali untuk menaklukkan Damakus, namun upayanya itu tidak berhasil. Damaskus benar-benar menjadi kunci untuk dapat merebut kembali Palestina. Tapi sayang, Mu’een El Deen Ans, penguasa ketika itu berhasil menghubungi balatentara Salibis dan beraliansi dengan mereka untuk melawan Zanki. Ia menjanjikan mereka kota Banias dan itu mereka sepakati. Tapi Zanki mengejar mereka sebelum sampai ke Damaskus dan mereka putuskan untuk kembali. Namun, Mu’een El Deen tetap memegang janjinya untuk melepas Banias dan bukan kepada Salibis, tapi kepada orang Islam.
Kemenangan yang paling gemilang yang dilakukan oleh Zanki adalah penaklukannya atas kota Al Raha dan penghancuran yang ia lancarkan terhadap kerajaan Salibis yang bertengker di sana. Ia kepung kota tersebut lebih kurang 4 minggu, dan ia dobrak dengan kekuatan yang ia miliki pada tanggal 6 Jumadil Akhir 539 H. Ia juga mengalahkan seluruh kota yang berada di bawah provinsi kerajaan sebelumnya di Peninsula ini. Sebagaimana ia juga membebaskan kota Surooj dan semua kota yang berada di bawah hegemoni Salibis ke bagian timur dari sungai Eufrat, kecuali kota Beerah.
Setelah kegemerlapan sinar jihad yang berlangsung sekitar 20 tahun itu, Imaduddin Zanki mati syahid di pertengahan bulan September 1146 M (5 Rabiul Awal 541 H). Hal ini terjadi oleh ulah pengkhianatan yang dilakukan oleh beberapa pengikutnya ketika ia melakukan pengepungan terhadap benteng Ja’beer dalam usianya yang ke 60 tahun. Menurut Ibn Al Katsir, Zanki adalah seorang politisi yang ulung, sangat dihormati, dihargai oleh pasukannya dan orang-orang sipil lainnya serta tidak menganiaya orang-orang lemah. Sebelum ia memegang tampuk kekuasaan, negaranya dalam kondisi hancur karena merupakan tempat melintasnya para pemimpin yang korup dan bertetangga dengan kerajaan Salibis. Ketika ia memegang kekuasaan, semua itu berubah dan menjadikan negaranya kembali pada rel yang semestinya serta mengembalikan kemakmuran buat negaranya. “Zanki adalah raja yang terbaik dalam bentuk dan perilakunya. Ia sangat pemberani dan kuat yang berusaha untuk dapat menguasai kerajaan-kerajaan lain pada waktu itu. Ia juga baik dengan kaum hawa dan berlaku dermawan kepada bawahannya.” Setelah kemangkatannya ia dikenal sebagai seorang syahid (martir).
Imaduddin Zanki bekerja dalam kondisi dan situasi yang paling sulit. Pada satu sisi, ia berada di tengah konflik yang berkecamuk di antara para penguasa dan para pangeran dinasti Saljuk. Dan pada sisi yang lain ia berdiri di antara mereka yang bertikai dan dinasti Abbasiyah. Di tambah lagi dengan apa yang ia derita dari iklim yang diwujudkan oleh tradisi kekuasaan warisan dan kerakusan para pangeran dan penguasa untuk memerintah bahkan dengan hanya mendapatkan satu kota atau satu benteng sekalipun. Sebagaimana ia juga hidup pada masa di mana kekuatan Salibis masih terlalu superior dan penuh dinamika. Kendati demikian ia dapat meletakkan fondasi-fondasi bagi pembangunan pangkalan untuk bertolaknya jihad besar dan kuat yang membentang dari utara Syam ke arah utara Iraq. Sebagaimana ketangguhan dan superioritas Salibis dapat dipatahkan dan dipermalukan dalam berbagai medan laga. Zaki melancarkan jihad dan bekerja ekstra keras sehingga memungkinkan untuk memerangi mereka guna merebut kembali wilayah yang dirampas. Ia telah mempersembahkan model pemimpin dan mujahid yang berjalan di bawah bendera Islam yang mampu untuk mengembalikan harapan untuk membebaskan tanah-tanah suci milik umat Islam yang dijajah oleh para musuh di seluruh dunia.
Setelah syahidnya Zanki, kerajaannya terpecah menjadi dua negara yang dibagi sesuai menurut tradisi warisan pada masa itu kepada kedua anaknya : Nuruddin Mahmud mendapat bagian negara Halab dan wilayah subordinatnya; Saifuddin Ghazi mendapatkan negara Mousel dan negara bagiannya.
Nuruddin Mahmud dilahirkan setelah 20 tahun kejatuhan Al Quds ke tangan Salibis pada tanggal 17 Shawwal 1511 (Februari 1118 M). Ia berperawakan tinggi, tampan dengan kulit agak kehitaman dan sedikit berjenggot. Ia menikahi anak Muinuddin Anz pada tahun 541 H dan dikaruniahi dua anak laki dan satu perempuan.
Di bawah pemererintahannya, fase besar jihad baru dimulai di wilayah Syam. Satu hal yang ia cita-citakan di masa kekuasaannya yang berlangsung 28 tahun yaitu mempersatukan umat Islam dan membebaskan tanah-tanah mereka yang terjajah.
Sejak saat itu ia terus berupaya dengan segala kemampuan yang ia miliki dan menggalang potensi-potensi umat serta memajukan kehidupan mereka dari berbagai aspek yang sesuai dengan konsep Islam yang integral hanya untuk mengembalikan kejayaan umat ini dan mengusir para penjajah Salibis dari bumi pertiwi mereka.
Untuk merealisir hal tersebut, Nuruddin Mahmud mengerjakan sesuatu yang dapat menghidupkan kebangkitan Islam yang menekankan kebutuhan akan solusi yang Islami. Ibn Al Kastir mendeskripsikannya dengan berkata : “Seluruh yang saya baca tentang raja, baik pada masa periode pra Islam dan pada masa Islam hingga sekarang, saya tidak pernah melihat seorang raja yang lebih adil dan baik kepada bawahannya setelah Khulafa Arrasyidin dan Umar bin Abdul Aziz yang punya sejarah baik dari Nuruddin, raja yang adil”. Ia merupakan sosok yang “pintar, cerdas dan sangat melek akan situasi kontemporer”. Ia tidak pernah menghargai seseorang oleh karena status sosial dan hartanya. Ia hanya menghargai orang-orang yang jujur dan bekerja keras.
Ia juga terkenal karena ketakwaannya dan ke-waraa-annya (kecintaannya kepada Allah). Ia sangat berkemauan keras untuk menunaikan semua ibadah sholat dan merayakan perayaan-perayaan Islam. Ia melakukan shalat Isya’ dan bangun di tengah malam untuk shalat malam hingga terbit fajar. Ia juga banyak berpuasa.
Nuruddin juga berkarakteristik punya kefakihan dan ilmu yang luas, maka ia seperti ulama dan bersuritauladan kepada sejarah para ulama salafusshaleh. Ia merupakan pengikut mazhab Hanafi dan mendapatkan izin untuk meriwayatkan hadits-hadits. Ia mengarang buku tentang konsep jihad, punya tabiat yang punya kemauan tinggi, sebagaimana ia juga dikaruniahi kepribadian dan kharisma yang kuat. “Ia sangat ditakuti namun lembut dan penyayang”. Dan dalam majlisnya “tidak dibicarakan hal-hal kecuali ilmu, agama dan berkonsultasi tentang jihad. Dan belum pernah didengar darinya ucapan kalimat keji sama sekali dalam kondisi marah atau ceria. Ia benar-benar seorang pendiam.”
Ia adalah seorang zuhud dan merendah diri (mutawaadhi) “konsumsi orang paling miskin pada zaman itu masih lebih tinggi dari konsumsi yang ia makan setiap hari tanpa simpanan dan tidak pula menentukan dunia untuk dirinya sendiri.” Dan ketika isterinya mengeluh kepadanya akan beratnya penderitaan dan kesusahan hidup yang dikondisikan oleh suaminya, Mahmud memberinya tiga toko pribadi di kota Homs dan berkata : “Itu semua yang aku miliki. Dan jangan berharap kepadaku untuk meletakkan jariku pada uang umat yang diamanatkan kepadaku, saya tidak akan mengkhianatinya. Dan saya tidak mau menceburkan diri dalam siksa Allah hanya karenamu.”
Suatu hari, seorang Faqih yang bernama Qutbuddin Annisaburi berkata kepadanya : “Saya mohon kepadamu untuk tidak menghancurkan dirimu dan Islam. Kalau seandainya kamu terserang di tengah pertempuran maka tidak akan ada umat ini yang tersisa, semuanya terbunuh.” Maka ia menjawab : “Wahai Qutbuddin!! Siapa yang terpuji sehingga disanjung seperti ini? Sebelum saya ada yang memelihara negara dan Islam? Itu Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya.”
Ia punya komitmen yang tinggi untuk mewujudkan seluruh hukum Islam. Ia menjadi teladan yang baik bagi para petinggi negara dan pimpinannya dalam berkomitmen kepada hukum yang ada. Sebagaimana ia juga berupaya keras untuk dapat mengembalikan hak-hak yang terampas kepada mereka yang teraniaya. Dan berkata : “Tidak boleh (haram) bagi orang yang bersahabat denganku untuk tidak menyampaikan kisah orang yang teraniaya yang tidak sampai kepada ku.” Dalam derap langkahnya mempersatukan negara-negara Islam, ia sangat menjaga komitmen untuk tidak menyebabkan adanya pertumpahan darah muslim. Maka dari itu ia sangat penyabar dan punya hikmah (wisdom). Nuruddin (rahimarullah) sangat komit dengan syariah dan melaksanakan hukum-hukumnya.
Kendati keterpaksaan yang mendorongnya untuk berhadapan dengan para pemimpin kota dan benteng muslim dalam upayanya untuk mewujudkan persatuan atau karena aliansi mereka dengan bangsa Eropa…namun darah seorang muslim baginya sangatlah agung. Ia “tidak bertujuan untuk merebut wilayah muslim kecuali memang terpaksa. Baik itu untuk dapat dipergunakan dalam pertempuran dengan Salibis atau karena khawatir akan ancaman yang mungkin datang dari mereka.” Dan ketika penguasa Damaskus beraliansi dengan Salibis pada tahun 544 H, ia bertempur dengan mereka tanpa sedikitpun mencederai orang muslim dan melenyapkan nyawa mereka. Sebagaimana ia berkata : “Tidak ada perlunya bagi orang Islam untuk saling memerangi dan saya berusaha untuk menyenangkan mereka agar mereka tidak sungkan untuk berjihad melawan orang-orang musyrik.” Ia telah menyaksikan bahwa Damaskus telah mengharamkannya hingga ia berangan-angan dan berdoa kepada Allah agar ia menjadi bagian dari kerajaannya.
Dan ketika salah satu dari mereka (orang Damaskus) mengadukan persoalan kepada hakim, maka ia dipanggil dan berkata : Dengan segala ketaatan “Sesungguhnya perkataan orang mukmin kalau berdoa kepada Allah dan Rasulul-Nya untuk menentukan keputusan di antara mereka harus mengatakan kami mendengar dan mentaati. Sesungguhnya saya datang ke sini karena menjalankankah perintah syariah”. Pada kesempatan lain ia dipanggil oleh para hakim maka ia datang. Dan ketika terbukti bahwa kebenaran berpihak kepada Nuruddin, lawannya diganjari apa yang dituduhkan kepadanya.
Ia juga telah menghapuskan pajak-pajak yang melampaui batas syariah, walau itu adalah sumber aliran pendapatan yang besar bagi anggaran negara dan hal itu mungkin untuk disahkan—menurut sebagian orang—dengan kondisi negara yang serba sulit dan perang yang ada. Ia berkata : “Kita menjaga jalan dari maling dan perompak…tidakkah kita berusaha untuk memelihara agama dan mencegah apa yang merusaknya”. Dan sesuatu yang paling ia sukai adalah kalimat kebenaran yang ia dengar atau ajakan kepada sunnah yang diikutinya.
Ia menghidupkan perilaku untuk menghormati para ulama dan menghargai mereka, kendati para pemimpin dan petinggi tidak berani untuk duduk dalam suatu pertemuan tanpa perintah dan izinnya. Maka apabila ia kedatangan seorang faqih dan shaleh, ia berdiri terlebih dahulu dan mempersilahkan orang tersebut untuk duduk. Dan ia juga memperlihatkan penghormatan dan penghargaan kepadanya. Menurutnya para ulama adalah : “Tentara Allah dan dengan doa mereka kepada Allah kita akan dimenangkan melawan musuh. Dan mereka punya hak yang berlipat ganda di bait al maal yang tidak saya berikan, kalau mereka rela dengan apa yang kita lakukan atas sebagian hak mereka, maka itu adalah pemberian bagi kita”. Ia senang mendengarkan nasehat para ulama dan mengagungkannya dan berkata : “Sesungguhnya Al Balkhi bila berkata kepada ku : Mahmud, maka merindinglah seluruh bulu roma di badanku karena wibawanya dan membuat hatiku menjadi lebih halus”.
Nuruddin mengetahui kepribadiannya yang memperhatikan kondisi umat Islam dan menghidupkan makna-makna kebersamaan, kerjasama dan solidaritas antara sesama serta meringankan penderitaan dan kondisi sulit mereka. Ia telah bekerja untuk menyantuni para anak yatim, mengawinkan para janda, memenuhi kebutuhan anak fakir, mendirikan rumah-rumah sakit, tempat pengungsi, panti asuhan, pasar-pasar, tempat buang air besar (WC) umum, jalan-jalan umum dan memberikan orang-orang badui tempat tinggal agar mereka tidak mengganggu para jemaah haji.
Pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada umat terus meningkat, maka ia sangat dicintai rakyat dan relasinya dengan mereka menjadi kuat dan solid…jiwa konstruktif dan cinta kebajikan terus mengalir menembus dinding jiwa para bawahannya sehingga membuat mereka juga ikut berlomba melayani rakyat, membangun sekolah, rumah sakit, tempat pengungsi dan media-media pelayanan lainnya.
Nuruddin mengatur kantor pemberian zakat, mengkoordinasikan pengumpulan dan pembagiannya sesuai dengan dasar-dasar syariah. Ia juga menstimulus para businessmen untuk mengamankan infrastruktur perhubungan dan menghapuskan pajak yang terlalu membebani roda pergerakan bisnis. Ia terus mengerjakan apa saja yang memungkinkan untuk memperkuat negara dan mendorong laju pembangunan ekonominya.
Sebagaimana ia juga berusaha untuk menghidupkan makna-makna jihad ke dalam jiwa dan mendidik umat agar dapat memahaminya serta memanifestasikan dignitas, daya ketahanan dan kekuatan umat Islam. Memeras tenaga untuk mewujudkan segala sesuatu dan menyeleksi para pemimpin yang proporsional. Berupaya untuk melindungi kota-kota, membangun tembok-tembok pertahanan, dan memelihara jiwa umat Islam. Ia sangat punya kelebihan dengan determinasinya yang tinggi dan kuat. Bila kehormatan umat Islam dihina oleh para musuh maka ia akan melancarkan pembalasan yang sangat keras kepada mereka. Ketika ia baru saja memegang kekuasaan selama satu bulan, pasukan Salibis melancarkan serangan atas wilayah Ar Raha dengan asumsi bahwa penguasa baru adalah lemah. Namun Naruddin menyerang balik dan membunuh ¾ kekuatan musuh yang lari tunggang langgang setelah mengetahui sosok pemimpin baru ini. Pada waktu Salibis menyerang Nuruddin dan sebagian dari pasukannya di saat mereka dalam kondisi tidak siap, maka ia membagi mereka dan untuk tidak boleh berteduh di bawah atap hingga mereka dapat membalas Salibis. Dan pembalasan kali ini sangat luar biasa yaitu pada peperangan Harem di mana pasukan musuh harus kehilangan ribuan balatentara mereka.
Olahraga merupakan aktifitas yang dimanfaatkan olehnya sebagai sarana persiapan jihad. Peperangan pada waktu itu banyak mempergunakan kuda…dan untuk melatih ketangkasan berkuda maka ia berlatih dengan bermain bola dari atas punggung kuda polo untuk punya kemahiran yang tinggi!
Ia berjuang keras untuk dapat memobilisasi segala potensi-potensi umat untuk jihad…dan untuk itu ia tidak lupa berbuat baik kepada orang-orang lemah, orang tua, fakir miskin dan meminta doa kepada mereka yang mungkin dapat diberkahi oleh doa tersebut yang dapat membawa kemenangan.
Dengan struktur integral dan persiapan yang sungguh-sungguh dan berimbang, Nuruddin dapat memasukan periode perubahan yang sangat fundamental dalam aspek politis untuk dapat merealisir dua persoalan yang dapat mengantar kepada dua arah yang seimbang yaitu :
1- Mewujudkan persatuan Islam dan memobilisasi kekuatannya dalam satu wadah (bautaqah).
2- Melumatkan kekuatan bersenjata Salibis secara berangsur-angsur : dengan melemahkan prestise, menghancurkan kekuatan bersenjata mereka dan meliberasi tanah-tanah milik umat Islam yang jatuh ke tangan kekuasaan mereka secara bertahap….yaitu dengan menunggu terwujudnya persatuan Islam untuk memanifestikan kemenangan yang telak dan final atas kekuatan Salibis.
Nuruddin benar-benar berjuang dengan segala upaya untuk dapat merealisir persatuan Islam dengan segala kesabaran, bijaksana dan ketegaran serta dengan determinasi untuk tidak menyebabkan tumpahnya darah umat. Ia berupaya untuk dapat menarik simpati dan support dari berbagai kekuatan Islam di wilayah utara Iraq dan memancing solidaritas mereka. Dan ia membeberkan hakekat para penguasa dan pemimpin—yang menjadi batu sandungan bagi persatuan Islam—di depan mata rakyatnya, mereka membedakan antara jihad yang ia galang dan kehinaan penguasa mereka, antara reformasinya dan kerusakan penguasa, antara loyalitasnya kepada Allah, Rasul dan orang mukmin dan loyalitas kepada penguasa, maslahat, hawa nafsu mereka dan orang-orang Salibis!! Maka rakyat berangan-angan agar ia dapat memerintah mereka….Maka dari itu ia mendapat legitimasi yang luas di saat wilayah mereka bergabung dengannya.
Kota Homs bergabung pada tahun 544 H-1149 M, namun ia sangat bercita-cita untuk menggabungkan Damaskus yang berdiri di antara kekuasaannya dan kekuatan Salibis di Palestina. Pemerintahan Damaskus lebih mengutamakan perlindungan terhadap wilayah mereka sendiri dan pada tahap berikutnya baru berjihad melawan orang Eropa. Terkadang mereka berkhianat, berdamai dengan mereka dan terkadang juga beraliansi bila khawatir dengan kekuatan Islam yang akan mengancam kekuasaannya. Dan sesuai dengan perencanaan yang matang ia mentargetkan untuk dapat menguasai kota Damaskus dengan tanpa harus meneteskan darah dan menarik penduduk sana kepada barisannya serta bersikap anti terdapat permohonan yang diajukan oleh penguasa untuk meminta bantuan Eropa. Nuruddin berhasil membuka Damaskus pada bulan Shafar 549 M-25 April 1154 M, hal ini dapat dilakukan setelah meninggalnya Muinuddin Anz pada tahun 1149 M, melemahnya pemerintahan Damaskus dan kejatuhannya di bawah hegemoni Salibis yang memaksakan upeti-upeti bagi Damaskus dengan mengirim delegasi mereka memasuki kota ini setiap tahun dan mengumpulkannya dari mereka.
Kekuasaan Nuruddin atas kota-kota dan benteng-benteng Syria berlanjut hingga datang masa kelemahannya tiba. Namun ia mengetahui benar bahwa cara yang paling efektif untuk memerdekaan Palestina dan menanggalkan kekuasaan Salibis di sana adalah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan menguasai Mesir dan bergabungnya ia dalam front kesatuan Islam dan memposisikan mereka antara dua borgol.
Kesempatan datang kepada Nuruddin untuk dapat menguasai Mesir setelah salah seorang yang bersaing untuk merebutkan kementerian meminta bantuan kepadanya atau musuhnya yang bernama Dhargham pada tahun 559 H. Ia menawarkan kepadanya sepertiga dari pendapatan negara setelah dibayar kepada para tentara dan komandan mereka yang akan mengirimkannya yang bermukim di Mesir, dan bertindak sesuai dengan perintah Nuruddin. Ia mengirim Asaduddin Syerkukh yang dapat menaklukkan dan membunuh Dhargham. Namun Shawar berkhianat kepada Syerkukh dengan cara meminta bantuan kepada tentara Eropa untuk dapat mengusir musuhnya ini. Maka tentara Salibis ini datang dengan mengepung Syerkukh dan pengikutnya di Bilbis selama tiga bulan sampai kepada mereka kemenangan-kemenangan Nuruddin yang dapat memasukkan Harem di bawah kekuasaannya. Maka ia tawarkan kepada Syerkukh perdamaian dan diperbolehkan untuk kembali ke Syria maka ia sepakati itu namun ia belum tahu tindakan apa akan diberikan Nuruddin kepada Syria.
Persaingan antara Nuruddin dan Salibis atas Mesir terus semakin sengit, khususnya kondisi negara Fatimid dalam keadaan lemah yang sangat dan fase keruntuhan. Maka Nuruddin mengirim Asaduddin Syerkukh ke Mesir di Alfai Faris dalam serangan kedua di Rabiul Awwal 562 H, dan dapat mengalahkan kekuatan Eropa dan tentara Mesir di daerah Shaid serta menunddukkan wilayah Iskandaria dengan bantuan dari penduduk lokal. Dan Nuruddin pergi ke Shaid dan dapat menguasainya namun ia harus kembali ke Damaskus di bulan Zulhijjah setelah adanya kesepakatan antara kekuatannya dan Eropa untuk tidak menyerang dan merebut wilayah yang telah ia kuasai walau hanya satu desa.
Pada ekspedisi yang ketiga, Nuruddin dapat menguasai seluruh wilayah Mesir di bawah pimpinan Asaduddin Syerkukh pada bulan Rabiul Awal 564 H. Pada waktu itu pasukan Eropa dapat memekarkan hegemoninya di Mesir berkat aliansinya dengan (Syawar). Mereka dapat menguasai pintu masuk Kairo, menempatkan pasukan berani mati dan pembesar pasukan berkuda “Dan memerintah umat Islam secara tidak adil dan mereka bebankan kepada mereka berbagai penderitaan yang berat”. Kekuatan Eropa memperlihatkan ketamakan mereka untuk merebut Mesir. Maka datang ekspedisi di bawah pimpinan raja Bait al maqdis dan menduduki Bilbis secara paksa dengan membunuh, menawan dan mengepung kota Kairo. Khalifah Al ‘Adhid mengirim utusan kepada Nuruddin untuk meminta bantuan dengan membawa potongan rambut wanita yang diletakkan di dalam buku. Dan berkata bahwa ini adalah rambut wanita dari wilayahku meminta bantuan kepadamu untuk menyelamatkan mereka dari pasukan Eropa. Maka Nuruddin mengirimkan ekspedisinya yang ketiga. Ketika pasukan Asaduddin mendekati Mesir kekuatan Eropa menyerah dan keluar dari wilayah tersebut. Ekspedisi ini berakhir dengan kemenangan Asaduddin yang dapat menguasai Mesir dan menteri Syawar mati terbunuh. Asaduddin dinobatkan sebagai successor-nya di pemerintahan yang ada pada bulan Januari 1169-17 Rabiul Awal 564 H. Dan beliau meninggal dunia setelah dua bulan kemudian pada tanggal 22 jumadil Akhir yang akhirnya digantikan oleh Shalahuddin Yusuf al Ayubi.
Dan atas perintah dari Nuruddin, Shalahuddin akhirnya dapat menumbangkan kekhilafaan Fatimiyah dan kemesraan khilafah Al Abbasi harus berakhir pada hari Jum’at kedua dari bulan Muharam 567 H-10 September 1171 M. Al Dan khalifahnya yang bernama ‘Abidh, juga meninggal secara tidak ketahuan pada tanggal 10 Muharram. Beginilah liku-liku perjalanan waktu dengan berbagai peristiwa yang akhirnya dapat menggabungkan Mesir ke dalam kekhilafaan Al Abbasiyah secara nominal (ismiyyan) dan tunduk dibawah kendali kepemimpinan Nuruddin secara de facto.
Pada tahun 566 H – 1170 M, Nuruddin kembali dapan menyunifikasi wilayah Moushal dan kresidenannya ke dalam pangkuan pemerintahannya. Sebagaimana ia juga berhasil menggabungkan Yaman pada tahun 569 H – 1173 M, setelah mengizinkan Shalahuddin untuk membukanya. Maka ia mengirim saudaranya Tauran Syah bin Ayub ke sana yang dapat mengendalikan pemerintahan di sana secara utuh. Akhirnya front Islam bersatu dapat diwujudkan yang membentang dari Iraq ke Syria, Mesir dan Yaman yang memberi aba-aba akan semakin mendekatnya waktu bagi umat untuk dapat menghancurkan kekuatan Salibis.
Sepanjang masa pemerintahan ini yang berlangsung dari 1146 – 1174 M, berbagai pertempuran dan peperangan jihad terjadi antara Nuruddin dan Salibis. Pada waktu pemerintahannya terus mendorong dan menyatukan energi-energi umat, ia terus melancarkan ekspansi secara bertahap untuk dapat menguasai kerajaan-kerajaan Salibis dan memperlemah kekuasaan mereka hari demi hari. Dan ini dianggap sebagai peperangan partisi (partition battle). Dengan derap langkah jihad Islami yang terus melaju saatu itu ia berhasil menundukkan lebih kurang 50 kota dan benteng yang sebelum dikuasai oleh Salibis.
Maka sejak permulaan pemerintahannya, ia telah dapat menguasai wilayah Ar Raha dan Shaffa al Amlaak yang wilayah-wilayah lainnya (Tal Basyar, Samisat, Benteng Romawi, Daluk, Rawandan, Qurus, Mur’is, I’zar, ‘Intab dan Beerah..) dan itu terjadi antara tahun 1146-1151M.
Sebagaimana ia juga dapat membebaskan seluruh tanah yangsebelumnya menjadi bagian dari wilayah Emirat Antakiya Timur dari sungai Al ‘Ashi (1147-1149 M) di mana salah satu dari pengerannya Raymond dan ketua aliran kebatinan yang bekerjasama dengan mereka melawan umat Islam Ali bin Wafa, terbunuh dalam satu pertempuran yang terjadi (Anab, 29 Juli 1149 M). Ia juga punya peranan yang sangat substansial dalam menaklukkan ekspedisi Salibis yang kedua pada tahun 1147-1148 yang diikuti oleh Raja Perancis, Louis Ketujuh dan Kounrat, Kaisar Jerman yang Ketiga. Periode ini dianggap sebagai poin peralihan yang sangat signifikan dalam sejarah Perang Salib di mana prestise kekuatan Salibis dapat dipatahkan dan spirit juang umat Islam terus meningkat.
Peperangan demi peperangan terus terjadi dengan kemenangan yang silih berganti. Berbagai peperangan yang signifikan terjadi yang mengakibatkan hegemoni Salibis yang terus melemah. Banyak wilayah baru yang bergabung kepada pemerintahan Nuruddin dengan mengorbankan kepentingan Salibis…sehingga ia memutuskan untuk memasukkan kerajaan Salibis di Bait al Maqdis ke dalam kekuasaannya.
Shalahuddin Al Ayubi melanjutkan Perjalanan Nuruddin :
Pada tahun 1173 M-569 H, Nuruddin telah siap untuk melancarkan serangan final ke Bait al Maqdis dan membebaskan tanah tempat berisra’-nya Rasulullah SAW dari cengkraman hegemoni Salibis. Untuk itu maka ia telah mempersiapkan satu mimbar baru yang cantik sekali yang diperuntukkan penggunaannya di Masjid al Aqsa setelah keberhasilan umat menaklukkan Salibis. Ia berkirim surat kepada bawahannya di Mesir, Shalahuddin al Ayubi namun kematian terlalu cepat menjemputnya. Maka ia dipanggil oleh Allah pada tanggal 15 Mei 1174 M yang bertepatan dengan 11 Syawwal 570 H. Begitulah akhirnya lembaran-lembaran substansial dalam lembaran jihad pada masa peperangan Salib harus berlabuh. Tapi lembaran berikutnya juga sangat menjanjikan dan mengesankan dalam perjalanan sejarah. Yaitu lembaran Shalahuddin al Ayubi yang mengusung bendera—setelah Nuruddin Mahmud—dengan menapaki jejak perjalanannya. Manhaj dan solusi Islami untuk menghancurkan Salibis dan membebaskan tanah suci telah dirancang.
Shalahuddin muncul di saat kondisi yang diwariskan oleh pendahulunya dalam keadaan yang kondusif untuk mengembalikan tanah suci. Dan kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan olehnya dan berhasil memetik buahnya yang telah matang setelah beberapa tahun pemerintahannya.
Shalahuddin Yusuf bin Ayyub dilahirkan pada tahun 532 H-1137 M di benteng Takrit, di mana orang tuanya adalah gubernurnya. Ia, bapak dan pamannya secara keseluruhan berbakti kepada Nuruddin. Pamannya yang bernama Asaduddin Syerkukh berpartisipasi dalam ekspedisi- ekspedisi yang ketiga yang dilancarkan terhadap Mesir. Ia memegang kementerian di sana dalam usia 32 tahun.
Shalahuddin berkarakter yang baik, banyak berzikir, sangat persisten dalam menjalankan shalat jama’ah, rajin melakukan shalat sunnah dan nawafil dan shalat malam. Ia gemar mendengarkan ayat suci Al Qur’an dan menyeleksi imamnya, hatinya sangat halus khusyu’ sembari berair mata saat mendengarkan lantunan ayat suci al Qur’an. Ia juga punya hobi yang sangat untuk mendengarkan hadits dan getol untuk membesarkan syiar-syiar Allah. Ia selalu berhusnudhan kepada Allah, banyak berserah diri dan bertawakkal kepada-Nya.
Shalahuddin adalah orang yang adil, penyayang, pengasih dan menjadi penolong bagi kaum lemah di hadapan orang kuat. Ia adalah sosok yang pemurah, berperilaku baik, akhlaknya lembut, mengadakan pertemuan yang suci di mana tidak ada yang berbicara kecuali yang baik, suci pendengaran, lisan dan hati. Dan ia tidak pernah menyakiti orang lain sama sekali.
Ia adalah sosok yang pemberani, kuat dan persisten dalam berjihad serta punya kemauan yang tinggi. Pada suatu hari ia berkata di dekat Aka “Di dalam jiwaku bahwa bilamana Allah memudahkan bagiku penaklukan daerah pesisir lain maka akan ku bagi negeri, aku berwasiat, menitipkan dan akan mengarungi lautan hingga sampai ke wilayah pulau-pulau serta terus mengikuti mereka hingga tidak akan tersisa lagi di atas bumi ini orang yang kafir kepada Allah atau aku yang mati”. Shalahuddin meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta yang harus dizakatkan dan semua harta yang ia miliki telah terkuras disedekahkan. Dan tidak meninggalkan perak dan emas di dalam pundi-pundinya kecuali 47 dirham Nashiriyyah, satu dinar dari emas. Ia juga tidak meninggalkan harta dan rumah, properti dan sawah ladang. Ia bercita-cita keras untuk dapat menunaikan ibadah haji pada tahun wafatnya namun hal itu tidak dapat dilakukan karena kemiskinannya dan waktu yang terlalu sempit.
Ketika Nuruddin meninggal dunia, anaknya yang bernama As Sholeh Isma’il dibaiat untuk menggantikannya pada usia 11 tahun dan karena usianya yang terlalu muda maka ditunjukkan Atabika Syamsuddin bin al Miqdam sebagai representasinya. Para umara berselisih dan berbagai isu timbul dan terus memanas. Dalam kondisi seperti ini, pada satu sisi muncullah orang-orang berandalan dan minuman keras terus menyebar di masyarakat, berbagai bentuk kejahatan terus tumbuh dengan subur. Pada sisi lain, kekuatan musuh sangat berkeinginan keras untuk menggerogoti kekuatan umat Islam. Serangan Eropa kepada umat Islam mendapat perlawanan di daerah Banyas, namun perlawanan ini terlalu lemah untuk membendung mereka. Kondisi ini membuat umat Islam harus mengeluarkan harta yang tidak sedikit kepada musuh dan bernegosiasi untuk menyepakati genjatan senjata. Wilayah Al Jazirah akhirnya keluar dari pangkuan pemerintahan Shaleh Isma’il. Dan para umara yang berkuasa di belakang Shaleh dari bani Ad Daayah diusir dan dipenjarakan, mereka adalah para umara yang dekat dengan Nuruddin (Syamsuddin bin Ad Daayah dan Majduddin bin Ad Daayah, anak asuh Nurruddin). Dan semua apa yang telah disebutkan diatas adalah hal-hal yang menyebabkan kemarahan Shalahuddin kepada para umara yang berkuasa di kerajaan Shaleh, apalagi karena mereka menganggap bahwa diri mereka adalah yang paling berhak untuk mengawasi pendidikan dan pelayanan kepada Raja Shaleh.
Dari sini mulai terbuka pintu bagi sebuah sistem pemerintahan warisan (keturunan), lenyapnya berbagai lembaga “konstitusional” konsultatif, pertikaian memperebutkan kekuasaan terjadi dan ambisi untuk memimpin tumbuh subur…ada domain yang terbuka lebar di depan periode baru ini yaitu konflik dan perselisihan yang terjadi di antara umat Islam sehingga memperlambat proses al harb al faashilah (perang yang sangat menentukan) yang telah dipersiapkan oleh Nuruddin jauh sebelumnya. Dan Shalahuddin terpaksa harus kembali menceburkan diri ke dalam kancah peperangan baru untuk mempersatukan umat. Hal ini belum dapat diwujudkan kecuali setelah lebih dari 12 tahun kemudian. Pada bulan Rabiul Awwal 570 H – Nopember 1174, Shalahuddin berhasil untuk menyatukan Damaskus secara damai, kemudian menyusul kota Homs dengan tanpa bentengnya pada tanggal 10 Desember 1174 M. Dan pada tangal 28 Desember 1174 M, ia dapat merebut kerajaan Hamah sekaligus bentengnya kemudian kembali dari sana baru ia dapat menguasai benteng Homs. Pada tahun itu juga di bulan Ramadhan ia berhasil menduduki kota Baklabak, maka mayoritas wilayah Syria berada di bawah kekuasaannya. Sepanjang masa tersebut, Shalahuddin tetap menjaga loyalitasnya yang tinggi kepada Shaleh bin Nuruddin dan mendoakannya di masjid-masjid bahkan menuliskan namanya di atas uang koin. Namun setelah kemenangan Shalahuddin di dalam peperangan yang terjadi di antara pasukannya di satu pihak dan pasukan Aleppo, Mousal Zanki di pihak, pada saat itu ia mulai memutus kemesraan hubungan ini dan uang koin yang bertuliskan raja Shaleh. Ia kemudian disebut sebagai raja Mesir dan Syria serta menobatkan dirinya sebagai khalifah di sana. Kemudian pada tahun yang sama (570 H) Shalahuddin dapat menguasai benteng Ba’reen.
Pada tahun berikutnya (570 H, Shalahuddin menguasai Baza’a, Manbaj dan I’zaz. Pada tahun 577 H, Raja Shaleh Ismail meninggal dunia di kota Aleppo dalam usia yang kurang dari 20 tahun. Dan pada tahun 578 H, Shalahuddin menyeberangi sungai Eufrat dan kerajaan wilayah Jazeerah (Ar Raha, Huran dan Riqqa) serta kerajaan Sinjaar. Pada tahun 579 H, ia terus merayap menguasai wilayah Amid, Bukit Khalid dan Intab. Menduduki Aleppo pada bulan Shafar tahun itu juga setelah ditinggalkan oleh Imaduddin bin Maudud bin Zanki, sebagai pejuang daerah Sinjar, Nashibin, Al Khabur, Riqqa dan Saruj. Dan dengan keberhasilan Shalahuddin menduduki Aleppo—setelah melakukan pengepungan yang berulang-ulang—Raja Shalahuddin baru merasakan kestabilan setelah kondisi, sebagaimana ia juga menguasai Benteng Harem. Pada tahun 571 H, Shalahuddin menduduki Miyafarqin, Syerzur, Qarabili dan seluruh wilayah setelah sungai Zab. Dan yang terakhir ia memasuki wilayah Mousal dan wilayah kecil yang tunduk kepadanya ke dalam pemerintahan Shalahuddin pada tahun 582 H – 1186 M.
Periode 569-582 H (1174-1186 M) merupakan periode yang tidak pernah sepi dengan berbagai peperangan sengit dengan pasukan Salibis, peperangan ini pula memberikan kontribusi untuk tetap melestarikan prestise umat Islam dan memberi mereka peluang untuk mengintrodusir berbagai abilitas musuh dan titik-titik kelemahan mereka. Itu juga memberi kesempatan kepada umat untuk mengetahui sisi-sisi minus mereka yang perlu diperbaiki dan tidak memberi musuh ruang waktu yang cukup untuk memperkuat, berekspansi dan menyebar. Namun Sahalahuddin belum juga memasuki perang harbun faashilah (peperangan yang sangat menentukan) melawan Salibis.
Di sini kita melintasi berbagai peristiwa penting yang terjadi saat itu dengan Salibis. Pada tahun 570 H, kekuatan umat Islam dapat mengalahkan armada Salibis yang datang dari Sisilia dengan kemenangan yang gemilang. Karena kekuatan ini yang telah menaklukkan perlawanan Iskandaria yang berkuatan 50 ribu tentara. Pada tahun 573 H, Shalahuddin dapat memenangkan pertempuran dengan orang Eropa dari arah Mesir hingga datang ke wilayah Asqalan. Wilayah ini ia buka, menawan, membunuh dan membakar. Kemudian armada Shalahuddin berlayar, setelah menyaksikan bahwa Salibis tidak memunculkan kekuatan mereka. Shalahuddin terus berjalan memasuki wilayah Ar Ramlah, di sana mereka diserang secara tiba-tiba namun ia dapat mengalahkan mereka. Akhirnya ia kembali dengan jumlah tentara yang berjumlah kecil dan dalam kondisi yang serba sulit. Ini merupakan pelajaran yang berat baginya. Dan dalam tahun yang sama, pasukan Eropa mulai mengepung kota Hamah dan Jarem tapi upaya ini gagal. Pada tahun berikutnya, Eropa kembali melancarkan serangan atas kota Hamah. Pada tahun 575 H, Shalahuddin membalas dengan menyerang daerah yang dikuasai oleh Salibis dan memporakporandakan benteng yang mereka bangun dengan deraian rasa sedih dekat Banyas. Lalu terjadilah pertempuran sengit yang berakhir dengan kemenangan di pihak muslim, banyak pimpinan pucuk tentara musuh yang ditawan namun raja mereka dapat meloloskan diri. Di antara mereka yang tertangkap adalah : ibn Birzan, penguasa Ramlah dan Nablus yang merupakan wilayah yang punya tempat di sisi raja Eropa, saudaranya yang menguasai Jabil juga ditawan, sebagaimana juga dengan para penguasa Thibriyah, Miqdam Ad Daawiyah dan Janin.
Pada tahun 578 H, Shalahuddin melancarkan serangan-serangan ke wilayah yang dikuasai Eropa dengan konsentrasi pada daerah Syaubik dan Karak. Pasukan muslim juga dapat membuka Syakif dengan cara militer di bawah komando Farakhsyah (gubernur Damaskus). Ia juga menyerang Bisan dan merampas kekayaannya. Pasukan Arab ini terus melaju dan menyerang daerah Janin, Al Lajuun hingga mendekati Akaa.
Pada tahun yang sama, armada Shalahuddin dapat mengalahkan armada yang dikomandoi Arnath (Ronald De Syateaun) yaitu penguasa Karak di wilayah Laut Merah untuk merusak daerah pesisir kaum muslimin dan daerah Mekkah serta Madinah. Ia mengirim beberapa tawanan ke Mina untuk disembelih sebagai peringatan bagi mereka yang mengintimidasi tempat sakral Allah.
Pada tahun 579 H, Shalahuddin menyeberangi sungai Jordania pada tanggal 19 Jumadil Akhir dengan tujuan Bisan dengan membakar tempat-tempat utama orang Salibis dan merusaknya “Pasukan Islam menyerang aktifitas mereka baik pada sisi kanan dan kiri, hingga mereka harus melakukan sesuatu yang tidak berniat sama sekali dan berani melakukannya”.
Sebagaimana Shalahuddin juga melancarkan serangan ke Karak dan kembali dengan mengepungnya pada tahun berikutnya, namun upaya ini tidak berhasil. Kemudian ia melanjutkan ekspedisinya ke Nablus pada tahun 580 H dan menyerang para patronase Salibis saat dalam perjalanan. Ketiga tiba di Nablu, mereka melancarkan serangan kepada Salibis dan menghancurkan bases mereka, mereka terbunuh, tertangkap dan tertawan. Kemudian berjalan ke Sabsthiyah dan dapat menyelamatkan sekelompok tawanan muslim, dan mereka tiba di Janin dengan menghancurkan basis-basis orang Eropa di sana dan merampas harta. Lalu mereka kembali ke Damaskus dengan menyebarkan beberapa batalyon tentara ke berbagai tempat merampas harta perang dan menghancurkan kerajaan-kerajaan Salibis.
Pada tahun 572 H, Raja Eropa meninggal dunia di Bait al Maqdis dan digantikan oleh seorang anak kecil yang akhirnya menimbulkan perselisihan karena tamak akan kekuasaan di antara mereka. Ini yang membuat penguasa Tripoli untuk melayangkan surat kepada Shalahuddin dan menjalin aliansi untuk melawan para sahabatnya orang Eropa. Pada tahun yang sama penguasa Karak, Arnold berkhianat dengan menyerang kafilah dagang muslim dengan merampas seluruh harta mereka. Ia tidak merespon tuntutan dan ancaman Shalahuddin untuk melepas apa yang mereka telah ambil. Maka ia bersumpah akan membunuh Arnold bila dapat mengalahkannya.
Memasuki tahun 583 H, berbagai kondisi untuk menyongsong perang final telah siap dari kesatuan kekuatan umat Islam dan hancurnya prestise Salibis serta pengalaman luas dalam seni berinteraksi dengan musuh. Dengan ini maka Shalahuddin memasuki perang yang dinamakan perang Hithin.
Untuk menghadapi perang ini, Shalahuddin mempersiapkan pasukannya sekitar 12 ribu tentara reguler di luar para sukarelawan. Dan tentara Salibis mempersiapkan diri dengan berekonsiliasi dan menyunifikasi kerajaan dan balatentaranya yang berhasil membentuk kekuatan yang berjumlah lebih kurang 63 ribu tentara.
Shalahuddin menyeberangi sungai Jordania dan membuka wilayah Thibriyah dengan tanpa benteng. Clash antar kedua kubu ini dimulai hari Jum’at namun peperangan kian memanas pada hari Sabtu pada tanggal 24 Rabiul Akhi 583 H – 4 Juli 1187 M. Kekuatan Eropa merasakan terik panas dan dahaga yang sangat, sementara kekuatan Islam mengepung mereka dengan membakar rumput kering yang ada sehingga membuat para musuh melengkapi penderitaan mereka dari serangan panasnya matahari, dahaga, api dan persenjataan serta serangan yang dilancarkan oleh para pemanah. Kemudian Shalahuddin memerintahkan pasukannya untuk bertakbir dan menyerang dengan sungguh-sungguh. Maka Allah anugerahkan kepada umat Islam kemenangan dengan berhasil membantai lebih kurang 30 ribu dan menawan 30 ribu lainnya. Dan di antara mereka yang tertawan adalah seluruh raja-raja mereka kecuali penguasa Tripoli. Menurut sebagian riwayat mengatakan bahwa “belum pernah terdengar peristiwa yang benar-benar memperlihat kekuata (‘izz) Islam dan umatnya seperti apa yang terjadi pada hari ini yang mampu mendobrak kebatilan dan pengikutnya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa sebagian para petani melihat orang-orang yang memboyong lebih dari 30-an tawanan dari bangsa Eropa yang terikat dengan tali kemah. Dan sebagian lainnya ada yang dipejualbelikan dengan sandal untuk dipakai. Persoalan-persoalan yang berjalan belum pernah terdengar kecuali yang terjadi di zaman para sahabat dan tabi’in.”
Dan mereka yang jatuh tertawan adalah Raja Jai, penguasa Bait al Maqdis, saudaranya dan Arnold, penguasa Karak yang dibunuh dengan tangan kanannya Shalahuddin karena pengkhianatan dan penganiayaannya yang ia lakukan terhadap muslim. Mereka juga menawan Shahib Jabil dan Ibn Henfari, Miqdam ad Dawiyah dan sekelompok dari Dawiyah dan Isibtariyah. Orang-orang dari Dawiyah dan Isibtariyah dihukum mati karena permusuhan dan prejudice mereka yang sangat kepada umat Islam.
Inilah peristiwa Hithin yang merupakan salah satu perang final yang terjadi dalam sejarah Islam dan sejarah Palestina. Di mana umat Islam terus menghiasi malam-malam dengan gema takbir dan tahlil serta diakhiri dengan sujudnya Shalahuddin di depan keagungan Allah sebagai tanda syukur setelah runtuhnya kemahnya Raja Eropa dan yang lainnya.
Setelah peperangan ini telah terbuka lebar di depan mata umat Islam jalan untuk membebaskan mayoritas wilayah Palestina. Maka dalam hitungan hari wilayah Thibriyah ditaklukkan kemudian Aka (pada tanggal 10 Juli), Nashira, Shafuriyah, Kaisariah, Haifa, Arsuf, Nablus, Faulah, Daburiyah, Janin, Za’in, Thur, Lajun, Bisan, semua wilayah yang menginduk kepada daerah Thibriyah dan Aka, lalu Yafa. Kemudian umat Islam merayap menuju arah Utara dengan membuka benteng Tabnia, Shaida (29 Yuli), Beirut (6 Agustus) dan Jabil. Terus melanjutkan perjalanan ke arah Selatan untuk melengkapi upaya membebaskan Palestina, maka mereka membuka Ramlah, Yabna, Bethlehem, Hebron, Asqalan (4 September), Ghaza dam Darum. Shalahuddin bermalam di Asqalan hingga benteng Dawiyah dapat diserahkan di Ghaza, Nathrun dan Bait Jibril…dan yang lainnya. Semua ini dalam diselesaikan hanya dalam tempo lebih kurang dua bulan dan ada juga yang dikepung bertahun-tahun baru kemudian dapat ditaklukkan. Jumlah daerah yang telah dibuka sekitar 50 wilayah besar dan setiap wilayah punya pasukan, benteng dan perlindungan.
Pembebasan Bait al Maqdis :
Semua perhatian tersedot ke arah Bait al Maqdis, maka Shalahuddin terlah mempersiapkan segala perlengkapannya dan memulai pengepungan atas kota ini pada pertengahan bulan Rajab 583 H – 20 September 1187 M. Pasukan musuh telah terkonsentrasi di dalam kota ini sebanyak 60 ribu pasukan Salibis yang semuanya telah memutuskan untuk lebih baik mati daripada harus menyerahkan wilayah kota ini. Pada masa pengepungan terjadi berbagai pertempuran. Pasukan Islam berusaha untuk merangsek masuk dan menyerang, maka terjadilah pertempuran yang paling sengit yang pernah disaksikan oleh manusia. Setiap pihak hanya melihat pada motivasi agama yang wajib bagi masing-masing, maka tidak ada lagi satu motif untuk kekuasaan.
Orang Eropa menuntut damai dengan imbalan menyerahkan kota, dan bila itu tidak dipenuhi mereka mengancam akan membantai ribuan tawanan muslim. Kemudian mereka membunuh para wanita dan keturunan mereka yang Nasrani, membakar dan menghancurkan seluruh harta benda, membunuh binatang ternak, merusakkan masjid al Aqsa dan Batu Shahrah, lalu mereka keluar untuk bertempur hingga titik darah terakhir. Shalahuddin berkonsultasi dengan para sahabatnya, maka mereka berijma untuk memberikan isyarat damai. Lalu diberikan kepada mereka perdamaian. Akhirnya usai sudah proses kemenangan umat Islam atas Al Quds pada tanggal 28 Rajab 583 H – 2 Oktober 1187 M. Di sini nampak kelihatan jiwa toleran dan kasih sayang seorang Shalahuddin yang juga diakui oleh kebanyakan orang-orang Nashrani.
Begitulah akhirnya Bait al Maqdis kembali diperintah di bawah bendera Islam setelah 91 tahun Hijriah (88 tahun Masehi). Keagungan dan kemuliaan Masjid Al Aqsa dapat dikembalikan, suara kumandang azan kembali bergema dengan anggunnya. Akhirnya mimbar yang sudah dipersiapkan dua puluh tahun sebelumnya oleh Shalahuddin benar-benar dapat diletakkan.
Dan yang terpenting untuk kita sinyalir di sini bahwa Shalahuddin tetap terus membuka kota-kota dan benteng-benteng Salibis lainnya. Daerah Jablah, Latakia dan benteng Zion juga diduduki pada tahun 584 H. Benteng Bakas, Syaghar, Sarminiay, Birziyah, Darb Salik, Baghras juga dibuka sebagaimana Karak yang sekitaranya seperti Syaubik setelah pengepungan yang panjang dan dengan cara damai. Wilayah Shifd juga ditaklukkan oleh Shalahuddin secara damai setelah pengepungan dan kaburnya pasukan Salibis ke wilayah Shur dan begitu juga dengan Kaukab juga diduduki. Pada bulan Rabiul Awal 585 H, Shalahuddin menduduki Syaqif Arnon yang merupakan benteng yang paling terkuat resistensinya.
Kelanjutan Jihad melawan kekuatan Salibis :
Kekuatan Salibis yang sudah kehilangan kota-kota dan benteng-benteng berkumpul di kota Sour. Shalahuddin terlalu toleran dan berlemah-lembut dan mengizinkan mereka untuk pergi ke kota tersebut secara bebas. Maka mereka berkesempatan untuk meminta asistensi dan mendapatkan dukungan baru sehingga kembali menjadi kuat. Lebih dari itu, Shalahuddin telah membebaskan raja Jai pada tahun 584 H dengan syarat ia harus benar-benar pulang ke Perancis. Namun ternyata Jai menuju kota Sour dan mengambil pucuk komando kekuatan Salibis berkat bantuan armada Biza dari Italia. Pada kesempatan ini, Ibn Katsir mengatakan : “Semua itu terjadi karena kesalah yang diperbuat oleh Shalahuddin untuk membebaskan mereka yang telah tertangkap. Maka dari itu ia harus menggigit jarinya sendiri sebagai wujud penyesalan yang tidak ada gunanya lagi.”
Balatentara Salibis melancarkan serangan dari kota Sour ke kota Aka pada tahun 585 H – 1189 M. Mereka berdiam hingga datang balabantuan ekspedisi ketiga yang diserukan oleh Paus Urban Kedua yang diberi nama dengan misi “perebutan kembali” Bait al Maqdis yang dikomandoi oleh tiga Raja Eropa yaitu Fredrik Barbarosa, yang mana sebagian besar pasukannya mati di tengah perjalanan, Richard yang “Berhati Singa” Raja Inggris yang datang dari arah laut. Kemudian Phillip Augustas, Raja Perancis. Richard merupakan orang yang hebat yang merupakan orang Eropa yang paling jahat dan punya kebencian yang sangat terhadap orang Islam”. Ia merupakan sosok pemberani, terhormat dan penyabar. Ia adalah rintangan yang paling berat bagi muslim. Tiga kekuatan ini yang mengepung kota Akka (pada bulan Raiul Tsani- Jumadil Ula 587 H (Juni 1191 M). Dan kota ini jatuh ke tangan mereka pada tanggal 17 Jamadil Ula 587 H (12 Juli 1191 M). Dengan pendudukan ini, kekuatan Salibis berupaya yntuk dapat membangun basis kekuatan kembali di Palestina. Umat Islam kembali membalas dan terjadilah berbagai pertempuran antara kedua belah pihak. Namun, Salibis terus melanjutkan ekspansi dengan merebut teritori wilayah Selatan pantai dengan menduduki kota-kota Haifa dan Jaffa.
Perlu untuk dicatat bahwa konflik yang terjadi sungguh bersimbah darah dan sangat pahit. Sebagaimana hal ini disinyalir oleh Ibn Katsir bahwa Shalahuddin bermukim di Akka bersabar dan bersabar berdiam di sana selama 37 bulan dan mereka yang terbunuh dari pasukan Salibis berjumlah 50 ribu tentara. Ekspedisi militer Ketiga Salibis ini diakhirnya dengan diadakannya perdamaian Ar Ramlah antara Richard si “Hati Singa” dan Shalahuddin al Ayubi pada tanggal 21 Sya’ban 588 H – 1 September 1192 M. Ini merupakan genjatan senjata selama 3 tahun 3 bulan. Eropa menuntut untuk menguasai wilayah pesisir dari Yafa ke Akka dan diperbolehkan untuk menziarahi Al Quds dan bebas untuk berdagang dan keluar masuknya kafilah masing-masing. Di sini perlu kita menegaskan beberapa poin di bawah ini yang berhubungan dengan perdamaian di atas di mana banyak dari kita yang terserang dewasa ini menyandarkan argumentasinya kepada kelalaian mereka akan hak-hak Islam dan umatnya dan berubah menjadi pendukung Yahudi :
1- Shalahuddin tidak pernah menginginkan diadakannya perdamaian dan ketika mendatangkan para konsultannya, ia tetap bersikukuh untuk tidak menyetujui genjatan senjata. Al Imad al Ashfahani menulis dengan caranya sendiri tentang Shalahuddin : “Kita, dengan syukur kepada Allah tetap dalam kondisi kuat, dan sudah mendekati kemenangan yang diidamkan. Kita sudah terbiasa dengan Jihad, maka hal ini membuat kita sulit untuk hidup tanpanya. Kita tidak ada hal yang lain yang dapat kita kerjakan kecuali terus memerangi para Salibis. Menurut pandangan saya bahwa saya harus meninggalkan segala sesuatu yang berkenaan dengan genjatan senjata, bahkan sebaliknya kita harus memilih Jihad yang memberikan kita kekuatan dan kehormatan. Hanya Allah yang menolong dan hanya karena-Nya saya mengambil keputusan dan berserah diri.”
Namun para konsultannya berijma’ untuk menerima tawaran damai dengan alasan kerusakan negara, keletihan para tentara dan rakyat dan persediaan bahan makanan yang sedikit. Dan karena orang Eropa bersikeras untuk berdamai dan bila saja hal tersebut tidak terwujud maka akan tetap tinggal di sana dan melanjutkan peperangan. Adapun bila terjadi perdamaian maka rakyat dan pembangunan negeri akan kembali aktif, para pasukan akan sedikit lega, memperkuat diri dan bersiap-siap untuk peperangan. Menurut pendapat mereka bahwa orang Eropa itu tidak akan khianat dengan janji-janji mereka, oleh karena itu mereka menasehati Shalahuddin untuk mengadakan genjatan senjata sehingga para musuh berpisah dan bubar. Mereka tetap saja menganjurkan itu sehingga ia menyetujuinya.
2- Sesungguhnya perdamaian ini adalah temporer dalam waktu yang sangat singkat dan bukan perjanjian damai yang abadi. Hal serupa juga pernah diadakan sebelum dan sesudahnya. Dan ini diperbolehkan di dalam tinjauan Syariah Islam sesuai dengan maslahat yang ditetapkan oleh para pemimpin umat Islam. Dan berbagai konflik dan peperangan lain juga terus berlanjut setelah itu.
3- Belum pernah ada dalam perjanjian damai ini pengakuan bagi orang Eropa atas hak apapun tentang tanah Palestina. Namun yang ada adalah genjatan senjata yang meniadakan peperangan yang membawah kerusakan negara hingga berakhir masa waktunya yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Apa bedanya antara genjatan senjata yang diadakan oleh orang Islam yang puluhan kali dan penjanjian damai dengan negara Zionis yang terjadi dewasa ini.
Yang penting bahwa sesungguhnya perdamaian yang sudah disepakati harus ditinggalkan oleh Shalahuddin (rahimahullah) yang wafat pada tanggal 27 Shafar 589 H – 4 Maret 1193 M. Atau hanya tiga bulan setelah disepakatinya perjanjian Ar Ramlah.
Kekuatan Pengikut Ayub dan Konflik dengan Salibis :
Setelah wafatnya Shalahuddin, kembali perselisihan dan perpecahan terjadi antara para suksesor sang pemimpin. Beberapa tahun setelah kematiannya terjadi konflik-konflik berdarah yang sangat melemahkan kekuatan mereka. Di lain pihak kerajaan Salibis semakin solid dan terkonsolidasi yang terus berlanjut dan terkadang berekspansi keluar dengan mengorbankan kekuasaan Islam. Sungguh kecintaan akan dunia, kekuasaan yang menjadi pemicu pertikaian walaupun harus mengorbarkan prinsip-prinsip dan hal-hal sakral sekalipun. Ini yang menjadi salah satu fenomena beberapa penguasa dan sultan-sultan di negara Ayubiyah. Sebagian ada yang beraliansi dengan Salibis untuk melawan yang lain dengan kompensasi Bait al Maqdis, dan ini bukan hanya sekali sebagai imbalan keberhasilan Sultan Syria mengalahkan sultan Mesir atau Akas!! Para Salibis tentu berbahagia untuk memainkan peranan seperti ini, namun mereka tetap dengan ketamaakan mereka untuk mendapatkan keseluruhan wilayah kendati musim seminya Salibis belum terlalu lama berlangsung.
Ekspedisi Keempat Salibis yang dikirim oleh Barat pada tahun 601 H-1204 M berakhir di Kostantinopel—dan belum sampai ke wilayah Syria atau Mesir. Adapun ekspedisi yang Kelima telah bertolak dari Akka saja dengan kepemimpinan Rajanya Youhana Bareen, menuju kota Demiat di Mesir antara tahun 615-618 H (1218-1221 M). Ketika sultan Ayubiyah yang bernama Al Kamel Mohammaed bin Muhammed bin Ayoub menyadari kondisi yang kritis maka ia tawarkan kepada Eropa untuk berdamai dengan kompensasi menyerahkan Al Quds dan sebagian besar wilayah yang dibuka oleh Shalahuddin. Maka mereka menolak dan menuntut untuk diberikan wilayah Tenggara Jordan (Karak dan Syaubik). Maka raja Isa bin Ahmad bin Ayub, penguasa Damaskus merusakkan tembok-tembok kota al Quds agar orang Eropa tidak dapat memanfaatkannya bila itu jatuh ke tangan mereka pada tahun 616 H – 1219 M. Namun akhirnya orang-orang Ayubiyah mengerahkan kekuatan-kekuatan yang ada dan berhasil mengalahkan Salibis dan kembali ke Akka setelah kehilangan satu kesempatan emas yang ditawarkan.
Kemudian perselisihan yang muncul antara al Kamel Muhammad dan al Mu’adham Isa membuat Al Kamel Muhammad harus meminta bantuan Fredrik Kedua, Kaisar kekaisaran Romawi yang mendapat mandat atas kerajaan Salibiyah di Akka, dengan berjanji akan menyerahkan Al Quds bila saja dibantu melawan saudaranya Al Mu’adham Isa. Fredrik Kedua datang dengan memimpin ekspedisi Salibis yang Keenam dan tiba di Akka pada tahun 625 H – 1228 M. Kendati Al Mua’dham Isa meninggal dunia yang akhirnya memungkinkan saudaranya Al Kamel dan Al Asyraf untuk membagi kerajaan dengan memberikan kepada anaknya An Nasher Daud wilayah Karak, Balqa, Aghwar, Salath dan Syaubik. Al Kamel sebenarnya tidak lagi membutuhkan bantuan Fredrek Kedua namun ia lalai dengan Al Quds hanya karena ingin memenuhi janjinya kepada Fredrik!!! Fredrik pada waktu itu tidak terlalu kuat untuk memaksa umat Islam untuk menyerahkan Al Quds. Hanum ia benar-benar memohon kepada Al Kamel pada beberapa tahapan negosiasinya dengan raja Ayubiyah ini yang berkata : “Saya adalah bawahanmu dan sebagai hamba yang beriman. Kalau kemuliaanmu memberiku kehormatan untuk mengambil wilayah, itu akan menjadi sebuah pemberian yang sangat berarti yang akan membuatkan bangga dengan diriku di antara para raja-raja laut.” Al Kamel merespon dan mengadakan perjanjian Jaffa pada tahun 626 H (18Februari 1229 M). Perjanjian ini akan berakhir dalam 10 tahun yang menyatakan bahwa para Salibis akan mengambil tanah suci Al Quds, Betlehem, Tabneen, Honeen, Sayda dan tepian Al Quds yang trus ke Al Lad dan berakhir di Jaffa. Ini ditambah dengan beberap kota Nassira dan wilayah Barat al Jaleel. Perjanjian ini juga mengatakan bahwa tempat suci umat Islam, batu Al Shakhra dan masjidnya tetap dibiarkan untuk orang Islam.
Maka dari itu Al Quds akhirnya kembali ke pangkuan orang-orang Salibis yang memancing amarah orang Islam. “Umat Islam sangat sedih dengan kehilangan kota Al Quds; mereka menangis dan berteriak merintih di mana-mana. Dan ini merupakan malapetaka besar yang menimpa mereka. Dan para sesepuh dan ulama berkata : Wahai para raja umat Islam yang dengan peristiwa ini sangat memalukan sekali, kemurkaan benar-benar memuncak kepada raja Al Kamel dan rakyat Damaskus menjadi benci kepadanya dan pembantunya, dan membanjirlah kebenciaan orang kepadanya di setiap tempat”.
Ibn Katsir berkata : “Peristiwa itu bagi umat Islam merupakan peristiwa yang sangat memukul sekali, mereka menjadi lemah tak berdaya, dan gonjangan yang dahsyat”.
Konflik antara keturunan Al Ayubi terus berlanjut, namun Nasher Daud, penguasa Jordan dapat memanfaatkan kesempatan setelah usainya masa validitas perjanjian damai Yafa dan upaya Eropa untuk membentengi Bait al Maqdis, dengan mengingkari persyaratan yang ada. Maka pada tanggal 6 Jumadil Ula 637 H – 7 Desember 1239 M, ia dapat menguasai Al Quds dan berhasil mengusir orang-orang Eropa dari sana. Namun Shaleh Ismail, penguasa Damaskus menyerahkannya kembali kepada mereka pada tahun 638 H- 1240 M!! Setelah ia meminta bantuan pasukan Salibis ini untuk melawan penguasa Mesir Shaoleh Najmuddin Ayyub. Di tambah lagi dengan wilayah Asqalan, Tabariya dan kota-kota pesisir lainnya sebagaimana juga dengan benteng Syaqib, sungai Al Mojeb, benteng Safad dan gunung Amel. Ulah penguasa ini benar-benar membuat umat Islam jadi berang “yang sudah terlalu marah dengan Shaleh Ismail”. Sekali lagi Al Quds berada di tangan orang-orang Salibis.
Di saat Al Shaleh Ismail memobilisasi kekuatannya untuk berpartisipasi dengan Salibis melawan Al Shalah Ayub di Gaza, mayoritas balatentaranya menolak untuk bergabung dengan Salibis melawan saudara sesama muslim. Sebaliknya mereka berpaling kepada pihak tentara Mesir dan dapat mengalahkan Salibis dengan kemenangan yang gemilang. Namun Al Shalah Ayub berdamai dengan mereka pada tahun 638 H – 1240 M, dan mereka dapat merebut kembali wilayah Al Quds dan mengontrolnya serta wilayah-wilayah lain.
Sekali lagi, keturunan Ayub kembali berperang sesama mereka untuk memperebutkan kekuasaan dan Al Quds serta tanah sucih tetap menjadi kartu yang dipermainkan untuk mengejarkan kehancuran mereka demi kekuasaan dan prestise. Lagi-lagi Al Shaleh Ismail menawarkan aliansi kepada Eropa di Akka dengan imbalan kekuasaan yang penuh atas Al Quds dengan batu Shahrah dan Masjid al Aqsa dan Al Nasher Daud juga bergabung dengan mereka. Pada kesempatan yang sama Al Shaleh Najmuddin Ayub, penguasa Mesir menawarkan hal yang serupa kepada kekuatan Salibis sebagai imbalan aliansi mereka.
Namun kekuatan Salibis lebih senang beraliansi dengan Al Shaleh Ismil yang merayap menginvasi Mesir dengan asistensi sekutu mereka Al Nashe Daud dan Al manshur Ibrahim, raja Homs. Pada pihak lain, al Shaleh Najmuddin Ayub meminta bantuan dari Al Khawarziyyah yang datang kepada mereka dengan kekuatan yang terdiri dari 10 ribu balatentara yang dalam perjalanan dengan menguasai Thibriyah dan nablus. Mereka menyerang Bait al Maqdis pada tanggal 17 Juli dan berhasil mengembalikan Bait al Maqdis secara utuh ke dalam pekarangan Islam pada tahun 642 H – 23 Agustus 1244 M. Dan dengan demikian Bait al Maqdis kembali ke pangkuan umat Islam selamanya. Dan terus memelihara identitasnya yang Islami sehingga kedatangan kekuatan Inggris pada tanggal 10 Desember 1917 M.
Sesungguhnya orang-orang Khawarzimiyah datang dengan tujuan untuk memberikan bantuan kepada Al Shaleh Ayub melawan Al Shaleh Ismail dan sekutu-sekutunya. Dan terjadilah pertempuran Ghaza Kedua (dekat Ghaza di tempat yang bernama Hirbiya) antara dua kekuatan tersebut pada tanggal 12 Jumadil Ula 642 H – 17 Oktober 1244 M yang berkesudahan dengan kekalahan yang pahit bagi Al Shaleh Ismail dan Salibis. Jumlah korban yang jatuh dari pihak Eropa diperkirakan lebih kurang dari 30 ribu di luar 800 tawanan perang yang digiring ke Mesir. Pertempuran ini merupakan pukulan yang terkuat buat kekuatan Salibis sesudah perang Hithin. Dan peperangan ini juga dikonsiderasi sebagai salah satu dari pertempuran yang paling krusial dalam sejarah Palestina, karena Salibis tidak pernah berhasil untuk membangun kembali kekuatan mereka kendati tetap mempertahankan kekuatan yang sudah mereka miliki.
Jadi Al Shalah Ayub mengambil kontrol kota Al Quds, Hebron, Ait Jabreen, Al Aqwar dan Damaskus pada tahun 642 H (1245 M). Ia memberi pelajaran kepada kekuatan Salibis dan menduduki wilayah benteng Tabariyah dan Asqalan. Oleh karena hal ini, kerajaan Salibis hanya sebatas pintu gerbang wilayah Jaffa pada tahun 644 H (1247 M). Mesir kemudian diserang oleh ekspedisi Ketujuh Salibis, yang dipimpin oleh Louise Kesembilan, raja Perancis pada tahun 646 H (1249 M). Ekspedisi ini gagal, dan rajanya dapat dipenjarakan kemudian dibebaskan untuk pergi ke Akka. Satu tahun kemudian dinasti Ayubi mengakhiri kekuasaan mereka di Mesir dan dinasti Mamalik mengambil alih kekuasaan yang ada pada tahun 647 H (1250 M). Setelah itu fase baru dalam Jihad melawan orang-orang Mongolia dan Salibis kembali dimulai.
Al Mamalik dan Konfrontasi Mereka dengan Tartar :
Pada abad yang ketujuh Hijriah –ketiga belas Masehi—muncul bahaya bagi umat islam yang datang dari Mongolia. Mongol sudah menyatukan kabilah-kabilah mereka di bawah komando Jengis Khan. Dan mereka memulai ekspedisi besar mereka untuk berekspansi. Maka mereka kuasailah wilayah Mansyuriah, Cina dan Korea. Mereka juga berhasil menghancurkan balatentara negara Al Khawarzimiyyah yang muslim pada tahun 1221 M yang merupakan benteng kuat yang dapat menghadang ekspansi mereka untuk menuju dunia Islam lainnya. Kekuatan Mongol ini juga telah mewujudkan banyak kemenangan gemilang dan signifikan.
Jengis Khan meninggal dunia pada tahun 624 H – 1227 M, namun Mongol tetap melanjutkan estafet mereka dengan menyerang wilayah Asia Tengah, Rusia dan menguasai Moskow sebagaimana mereka juga berhasil menduduki Ukraina dan menyerang Polandia serta mengalahkan balatentara Jerman. Mongol menghancurkan Hongaria setelah berhasil menyapu rata kekuatan bersenjata mereka dan terus menembus daratan Eropa. Sebagaimana mereka juga terus merangsek masuk ke wilayah dunia Islam, maka lengkaplah kekuasaan mereka di wilayah Turkistan, Afghanistan, India dan Parsi.
Mongol membumihanguskan setiap kerajaan yang mereka hadapi dengan tanpa sedikitpun ada rasa iba atau kasih sayang dan dengan perangai jahatnya yang menakutkan telah membuat dunia menjadi ciut dari kekuatan dan serangan mereka. Maka bukan saja karena kapabalitas dan kekuatan yang mereka miliki mereka yang membuat mereka selalu memenangkan pertempuran tapi perang urat saraf dan imej yang menakutkan tentang mereka juga punya andil besar yang mereka sebarkan ke dalam jiwa lawan-lawan mereka. Bangsa Mongol ini terus memetik kemenangan perang dari yang paling ektrim yaitu perang kilat yang bersandarkan pada kecepatan gerak sebagaimana mereka juga memetik kemenangan perang urat sarat yang menakutkan orang akan kekuatan mereka di setiap tempat.
Negara-negara muslim menderita perpecahan dan kelemahan yang membuat Mongol dengan mudah merayap memasuki wilayah mereka dan meratakan kerajaan-kerajaan mereka dengan sangat mudah. Tingkat ketidak berdayaan pemimpin Islam ini membuat salah satu dari mereka –yang berkuasa di salah satu kota—mengirimkan gambarnya yang dibuat di bawah telapak sepatu sebagai hadiah kepada Haluku, komandan Mongol supaya ia dapat “termuliakan” dengan meletakkan kakinya di atas gambar penguasa Islam tersebut.
Mongol kembali menyerbu Irak dan mengepung kota Baghdad yang merupakan ibukota khilafah Abbasiyah yang sudah tak bergigi dan tak berdaya. Dan salah satu dari sebab ketidakberdayaannya itu adalah konspirasi antara menteri Ibn al ‘Alqami dan Mongol untuk menjatuhkan khilafah dan ia juga membebastugaskan pasukan khilafah dari jumlah 100 ribu menjadi 10 ribu. Baghdad jatuh pada tahun 656 H – 10 Februari 1258 M, pada saat itu pasukan Mongol membantai umat Islam secara besar-besaran yang berlanjut hingga 40 hari. Menurut Ibn Katsir bahwa jumlah korban yang berjatuhan saat itu lebih kurang 800 ribu dan ada yang menyebutkan sekitar 1 juta orang. Khalifah Al Musta’shim Billah juga terbunuh, dan ada yang mengatakan bahwa ia ditempatkan di dalam kantong lalu meninggal dunia karena tendangan.
Mongol kembali menyerbu negeri Al Jazeerah dan berhasil menguasai wilayah Hurran, Ar Raha dan Diyaar Bakr. Kemudian menyeberangi Eufrat dan memasuki daerah Aleppo pada tahun 658 H – Januari 1260 M. Dan para penguasa Bani Ayub yang memerintah negeri Syam (Syria) memperlihatkan sikap kehinaan yang sangat setelah Nasher Yusuf al Ayubi, penguasa Aleppo, mendekralasikan ketundukan dan ketaatannya kepada Mongol yang masuk negeri ini dengan melakukan kekejaman sehingga harus mengalirkan darah para kaum muslim di daerah Azqah. Dengan kondisi seperti ini, akhirnya penguasa daerah Hamah, Al Manshur bin Al Muzhaffar berinisiatif untuk kabur ke Mesir bersama isteri dan anak-anaknya meninggalkan kota Hamah bersama rakyatnya untuk menghadapi nasib mereka. Kemudian Nasher Yusuf kabur dari Damaskus ke Ghaza dengan tujuan akan melanjutkan perjalanan ke Mesir dengan membiarkan daerahnya tanpa pemerintahan dan rakyatnya tanpa pemimpin. Rumah yang dibangun oleh Al Ayubi di wilayah Syria hancur berkeping-keping dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Akhirnya, bangsa Mongol tiba juga di Damaskus dan menguasainya dengan aman pada awal bulan Maret 1260 H, kemudian mereka berkhianat kepada penduduknya. Dan pada saat musin semi mereka menduduki daerah Nablus dan Karak, terus merayap memasuki wilayah Ghaza dengan tanpa perlawanan yang berarti. Ini karena wibawa pemerintahan di Palestina sudah terbagi ke dalam Kerajaan Akka Salibis dan pemerintahan Mongol Tatar. Palestina kembali berada di bawah injakan kaki kuda para kafir.
Salibis dan bangsa Tatar :
Bangsa Eropa sangat senang hati dengan invasi yang dilancarkan oleh bangsa Mongol terhadap negara-negara Islam dan berusaha untuk berkoordinasi dengan mereka menggalang satu barisan melawan musuh bersama. Mereka juga berusaya untuk menyebarkan ajaran Kristen di antara orang-orang Tatar. Pada awal mulanya proyek ini secara parsial berhasil, karena komandan Tatar yang menyerang negara-negara Islam (Haluku) punya kecenderungan kepada ajaran Kristen Nasturia dan para pengawalnya melibatkan banyak dari mereka bahkan isterinya sendiri adalah beragama Kristen. Isterinya ini punya peranan besar—yang membanggakan pihak gereja—dalam upaya untuk menghindarkan malapetaka yang akan menimpa daratan Eropa dari serangan orang Mongol dan mengarahkannya kepada negara-negara Islam. Dan bahkan komandan perang Ain Jalut, Katbaga adalah seorang Kristen. Pengaruh Kristen sangat besar bagi orang Mongol bahkan salah satu pendeta Kristen mengilustrasikan ekspedisi Tatar, bahwa itu adalah : “Ekspedisi Salibis dengan seluruh maknanya yaitu ekspedisi Kristen Nartoria”. Bahkan mengharap bahwa Halako dan pemimpinnya, Katbaga akhirnya akan berhasil mengeliminasi sepak terjak umat Islam secara keseluruhan. Hatoon Pertama, raja Armenia, dan Bohemond Keenam, pangeran Tripoli, bersama dengan pangeran Salibis wilayah Sour, Akka dan Cyprus, membuat aliansi dengan orang Mongol yang menegaskan upaya untuk mengeliminasi umat Islam di Asia dan mengembalikan Al Quds kepada orang-orang Salibis.
Pada masa itu, Mesir di bawah dinasti Mamalik diperintah oleh Sultan Al Modhaffar Qutz pada tahun 657 H (1259 M). Ia adalah seorang pemimpin yang terkenal keimanannya, kecintaannya kepada Tuhan dan Islam. Ia adalah murid seorang cendikiawan terbesar pada masa itu, Al Aziz bin Abdul Salaam. Ibn Katsir mengatakan bahwa Qutz adalah “Seorang pahlawan pemberani yang mencintai perbuatan baik dan mengikuti Islam; rakyat sangat mencintainya dan tetap mendoakannya”.
Setelah beberapa bulan dari pemerintahannya, ia harus menghadapi problem invasi Tartar dan menerima surat ancaman dari pemimpin mereka yaitu Halako sebelum ia meninggalkan Syria dengan memaksa untuk menyerahkan Mesir. Surat itu berkata : “Lihat apa yang telah kita perbuat kepada yang lain dan belajarlah dari mereka; menyerahlah, karena kita tidak akan mengasihani orang-orang yang merintih dan menangis. Kemana kira-kira anda akan berlari menyelamatkan diri dari kami? Dan siapa yang dapat memproteksi kalian dari pedang-pedang kami? Kami tidak mengenal benteng-benteng, balatentara yang menyerang kami tidak ada gunanya dan doa kalian untuk kami tidak didengar”.
Namun Butz, pemimpin umat Islam yang hanya takut kepada Allah, tahu betul bahwa kemenangan itu hanya datang dari Allah. Dan kalau ia benar-benar mempersiapkan diri untuk terjun dalam kancah perang dan menghubungkan segala sesuatunya kepada Allah, maka kemenangan akan dapat diraih. Akhirnya ia deklarasikan Jihad dan bersiap untuk menghadapi invasi Salibis. Setelah membaca surat tersebut, ia memerintahkan untuk menangkap dan membunuh para utusan pembawa surat dengan memotong jasadnya dari tengah (untuk dibagi dalam dua bagian). Kepala mereka digantung pada salah satu pintu masuk kota Kairo (pintu Zuwailah). Eksekusi mati ini adalah deklarasi yang tidak ada kegentaran untuk mundur dan bulat tekad untuk berperang. Ini juga merupakan tantangan yang memberikan spirit kekuatan dan kebanggaan dalam menghadapi ekspansi Tatar.
Qutz putuskan untuk berinisiatif menyerang dan maju terus menghadapi kekuatan tempur Tatar sebagai upaya untuk mengangkat spirit juang umat Islam sekaligus sebagai penegasan atas spirit jihad yang berupaya untuk mencari mati syahid di jalan Allah. Ini juga sebagai upaya untuk memelihara negara Islam yang berada di Mesir dan pembebasan wilayah Islam lainya di Syria, termasuk di dalamnya Palestina dan masjid Al Aqsa yang diberkahi. Selain itu, serangan ini adalah upaya untuk menakuti orang-orang Tatar bahwa mereka yang menyerang adalah tipe baru yang belum mereka hadapi sebelumnya. Dan menyerang adalah cara yang paling sukses untuk bertahan.
Pada bulan Ramadhan 658 H – 26 Juli 1260 M, pasukan Islam di bawah pimpinan Qutz melewati perbatasan dan membebaskan Ghaza dan berdiam di sana selama satu hari. Kemudian mereka merangsek terus ke arah utara untuk menghadapi pasukan Tatar, di sana di “Ain Jalut” bagian Timur Palestina, dua kekuatan Islam dan Tatar ini bertemu.
Pertempuran Ain Jalut :
Pertempuran Ain Jalut menyaksikan salah satu pertempuran yang terbesar dan krusial dalam sejarah yang terjadi pada hari Jum’at (25 Ramadhan 658 H) bertepatan dengan (6 Desember 1260 M). Dalam perang ini sebenarnya Tatar lebih unggul dari dua segi “ilmu dan logika”, karena mereka punya kelebihan dibandingkan dengan pasukan Islam dalam aspek-aspek berikut ini :
- Efisiensi dan pengalaman yang luas yang merupakan buah dari berbagai banyak pertempuran yang mereka arungi (kepemimpinan dan tentara).
- Spirit dan moral juang yang tinggi sekali karena belum pernah terkalahkan sebelumnya.
- Efisiensi kavalri yang mengetahui berbagai tehnik pertempuran seperti serangan kilat yang menjadi kelebihan balatentara Tatar.
- Mereka mampu untuk mengorganisir secara baik karena lebih dekat kepada basis suplai dan logistik.
- Lokasi strategis tentara mereka lebih baik dari posisi pasukan Islam.
Kendati berbagai kelebihan menyolong yang mereka miliki, namun kemenangan yang monumental telah berpihak kepada umat Islam.
Pasukan Qutz punya kelebihan bahwa mereka adalah “pasukan Islam” yang bergerak untuk menolong Islam dan memproteksi negeri-negerinya yang suci. Berbagai lapisan masyarakat turut berpartisipasi dalam pertempuran ini baik kaum lansia, ulama dan orang-orang shaleh Mesir. Perintah untuk ber-amar ma’ruf wannahyu anil munkar menyebar di kalangan tentara, maka mereka keluar dari Mesir sebagai pasukan yang dalam kondisi taubat, bersih dan sakral membela agama Allah dan menancapkannya di bumi. Sebagaimana pasukan Islam ini juga dipimpin oleh komandan yang beriman yang berhiaskan dengan “keinginan untuk berperang” yang menjadi fenomenanya yang paling kuat dan menjadi faktor kemenangan yang paling signifikan dalam pertempuran apapun.
Qutz meminta kepada pasukannya untuk menunggu hingga setelah shalat Jum’at “Janganlah kalian melancarkan serangan kepada mereka hingga tergelincir matahari, memberikan bayang-bayang, angin bertiup dan para khatib di masjid serta manusia lainnya mendoakan kita dalam shalat-shalat”, dan setelah itu baru dimulai pertempuran.
Di tengah berlangsungnya pertempuran, isteri Qutz “Jullanar” mati terbunuh dalam Jihad ini. Maka ia bergegas mendekatinya dengan berteriak “Oh wahai kasihku!” pada detik-detik nafas terakhir kepergian isterinya. Isterinya membalas dengan berkata kepadanya : “Jangan engkau katakan itu tapi katakanlah Islamah (duhai Islam)”, kemudian terangkatlah rohnya kepangkuan Rabnya setelah menyampaikan pesan tersebut bahwa urusan Islam dan Jihad di jalan Allah adalah lebih penting dari cinta dan hubungan pribadi. Maka Qutz berdiri tegak dan membalas dengan mengucap : “duhai Islam….duhai Islam…..dan seluruh pasukan mengumandangkan teriakan yang sama sehingga berakhir dengan kemenangan.
Di saat perang, kuda Qutz terbunuh lalu ia turun dan terus bertempur walau tanpa kuda sehingga pasukannya memberikannya kuda lain. Namun ia menolak untuk mengambil kuda pangeran lainnya yang secara sukarela memberikan itu kepadanya dengan mengatakan bahwa ia tidak mau untuk menghalangi mereka dalam menunaikan tugas suci ini. Sebaliknya ia harus berusaha sendiri untuk dapat menyelamatkan diri. Ia ditanya mengapa tidak mau menunggang kuda dan kalau saja para musuh melihat maka akan membunuhnya dan Islam akan dipecundangi. Ia menjawab : “Kalau saja saya terbunuh, maka saya telah pergi ke surga. Dan Islam maka ia punya Tuhan yang tidak akan melenyapkannya”. Dan setelah usai dan kemenangan ada di pihak Islam, Qutz turun dari kudanya berjalan dan mengusap mukanya dengan debu medan tempur serta sujud di hadapan Allah bersyukur kepada-Nya yang telah mengaruniakan kemenangan.
Kaum muslim langsung bergerak mengejar orang-orang Mongol, dan Qutz memasuki kota Damaskus hanya lima hari setelah berakhirnya peperangan Ain Jalut. Pengejaran berlanjut ke Aleppo dan ketika mereka mengetahui bahwa pasukan Islam sudah mendekat, mereka putuskan untuk meninggalkan tawanan muslim. Dan ini bagi mereka adalah malapetaka yang berat. Hanya dalam satu bulan umat Islam dengan kepemimpinan Al Mamalik berhasil mengembalikan negeri Syria dari Mongol dan Tatar.
Peperangan ini adalah salah satu peperangan yang signifikan dalam sejarah, karena berhasil menghentikan ekspansi orang-orang Tatar yang tidak dapat diberhentikan oleh kekuatan apapun sebelumnya. Dan ini merupakan permulaan bagi episode kekalahan-kekalahan yang berlanjut dan mengembalikan Mongol kepada basis-basis mereka semula dan mampu untuk memerdekakan negeri-negeri Islam yang mereka kuasai. Kemudian orang-orang Mongol yang tetap menetap di negeri-negeri Islam berpindah ke agama Islam, mereka berbondong-bondong memeluk agama Allah ini yang merupakan kemenangan baru umat Islam.
Al Mamalik dan Pemusnahan Kekuatan Salibis :
Kendati pasang naik kekuatan Mongol Tatar dapat diusir dari bumi Palestina dan umat meraih kemenangan yang gemilang di pertempuran Ain Jalut, namun kerajaan Salibis di Akka tetap saja bertahan dengan kekuasaannya yang mencakup wilayah pesisir yang membentang dari Jaffa ke Akka. Para sultan dari dinasti Mamalik mengambil tugas pembebasan tanah tempat Isra’ dan negeri Syria yang tersisa sehingga tiba masa di mana kekuatan Salibis yang terakhir dapat diusir setelah lebih dari 30 tahun paska perang Ain Jalut.
Yang mensuksesikan sultan Qutz adalah Al Dhaher Bebar, yang berkuasa hanya satu tahun. Bebar punya kontribusi signifikan dalam memerangi dan mengeluarkan kekuatan Salibis dari Syria dengan cara menghujani basis-basis mereka dengan serangan demi serangan secara terus menerus. Namun terkadang ia harus mengakomodir kesepakatan daman dengan mereka bila memang diperlukan. Dan biasanya hal seperti ini berlangsung dalam waktu sepuluh tahun, sepuluh bulan, sepuluh hari dan sepuluh jam. Dan setelah mampu untuk menanggulangi berbagai problema internal negeri, ia kembali turun dalam kancah peperangan dengan Salibis. Dan pada tahun 662 H-1263 M, ia memasuki wilayah Palestina. Setelah pasukannya tiba di daerah Akka, Salibis mendatanginya untuk meminta pembaharuan kesepakatan genjatan senjata dan menyetujui pembebasan para tawanan muslim serta memelihara berbagai kesepakatan dan piagam. Namun Bebars mempertimbangkan tuntutan mereka dan terus melangkah menyerang berbagai basis kekuatan mereka, khususnya di Akka. Ini dilancarkan untuk mengetahui titik-titik kekuatan dan kelemahan yang ada pada mereka sehingga datang waktunya untuk menyelamatkan negeri-negeri dan tempat-tempat yang diduduki. Dan kekuatan Salibis tidak dapat membendung advansi kekuatan ini.
Pada tahun 664 H-1265 M, Al Dhaher Bebars kembali menginvasi Palestina dan dapat menguasai Al Qaisariyyah al Muhsanah, menghancurkan dinding-dindingnya. Sebagian pasukannya menyerang wilayah Akka dan sebagian lainnya menyerbu Haifa. Kemudian kota Arsouf jatuh ke dalam genggamannya pada tahun yang sama.
Pada tahun berikutnya, ia kembali keluar ke Palestina mengepung Safad, menduduki dan menghancurkan dinding-dindingnya. Kemudian pada tahun 666 H-1267 M, kembali ke Palestina dan datang menghadap kepadanya delegasi Salibis untuk meminta genjatan senjata. Ia biasa mengikuti strategi devide and rule dalam berhubungan dengan kekuatan Salibis agar supaya kekuatan mereka tidak dapat bersatu untuk melawannya dalam satu waktu. Politik seperti ini yang membantu dalam menaklukkan kota Antakiya pada tahun 667 H (1268 M). Ini dianggap sebagai kemenangan yang paling gemilang yang diraih oleh umat dari Salibis setelah keberhasilan Shalahuddin al Ayubi membebaskan kota Al Quds pada tahun 583 H (1187 M). Setelah keberhasilannya untuk menduduki Antakiya, Bebar sepakat untuk mengadakan perjanjian damai dengan Akka yang berlaku hingga 10 tahun dengan syarat bahwa ia harus menguasai setengah dari wilayah Akka dan mengendalikan dataran tinggi di sekitar Sayda.
Setelah wafaatnya al Dhaher Bebars, Sultan al Mansur Sayfuddin Qalawoun meneruskan langkah predesesornya untuk memerdekakan negeri Syria dari hegemoni Salibis. Pada masa kekuasaannya ini, terbentuknya aliansi besar melawan umat Islam yang terjalin antara kekuatan Salibis, Tartar dan Sanqur al Ashqar, wakil penguasa Damaskus yang berpaling dari orang Islam. Tapi aliansi ini gagal dan Qalawoun mulai memperketat tekanannya terhadap Salibis dan berhasil menduduki pelabuhan Al Marqab pada tahun 688 H (1285 M). Ia juga menaklukkan Al Ladeqyya pada tahun 686 H (1287 M) dan Tripoli pada tahun 688 H (1289 M). Qalawoun dapat memanfaatkan instabilitas yang terjadi pada negara Salibis di Akka secara khusus dan di negeri-negeri Syria pada umumnya karena perebutan kekuasaan yang sedang terjadi. Ia adalah sosok pemimpin yang kuat yang dapat mengeliminasi kehadiran Salibis di wilayah Arab bagian timur. Pada daerah pantai Shami, Salibis hanya menguasai wilayah Akka, Sour, Sayda dan Etleet.
Sekarang bagi Qalawoun adalah momen yang paling tepat untuk mengeliminasi Salibis dari bumi Palestina secara total. Ia memanfaatkan peristiwa penyerangan yang dilancarkan oleh mereka yang membunuh beberapa jemaah haji muslim sebagai sebuah dalih untuk mendeklarasikan jihad melawan Salibis. Ia menyeruhkan seluruh pasukan bersenjatanya dari Mesir dan Syria. Ia berdiam di luar kota Kairo untuk menunggu kedatangan balabantuan, tapi ia terjatuh secara tiba-tiba lalu meninggal dunia pada tahun 689 H (1287 M). Sebagai suksesornya adalah anaknya yang bernama Ashraf Salahuddin. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Salibis untuk menawarkan Ashraf perjanjian lain, tapi itu ditolak dan ia kerahkan pasukan bersenjatanya untuk mengepung Akka yang berhasil dimerdekakan pada tahun 1291 M. Raja Akka, Henry Kedua berhasil lolos melarikan diri ke Cyprus. Setelah menaklukkan Akka, Ashraf menduduki Sayda, Sour, Haifa dan Etleet. Ia juga memerintahkan kepada pasukannya untuk membumihanguskan seluruh benteng-benteng yang ada di kota-kota tersebut. Jadi, basis terakhir kekuatan Salibis telah dihancurkan oleh tangan-tangan dinasti Al Mamalik, dan akhirnya eksistensi mereka di Palestina dan Syria dapat diselesaikan secara total setelah dua abad dari tahun 492-690 H. (1099-1291 M). Dengan prestasi ini, Palestina kembali berada di bawah pemerintahan Islam hingga berakhir pada masa di saat kekuatan Inggris berhasil menjajah wilayah ini.
Saturday, 12 June 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment