Facebook

Saturday, 31 October 2009

Yuk, Kita Bersyukur!

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, dan hanya bagi Allah semata. Allah Swt. adalah Dzat yang satu-satunya kita sembah dan kita mintai pertolongan. Nggak ada yang lain. Sebab, Dia telah memberikan segalanya bagi kita dan kehidupan kita. Kayaknya nggak pantes banget kalo sampe kita tidak bersyukur kepadaNya. Minimal banget adalah dengan mengucap “alhamdulillah” atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepada kita. Tul nggak sih?

Sobat muda muslim, bersyukur kepada Allah Swt. adalah sebagai bentuk “serah diri” kita kepadaNya. Kita bisa hidup, sehat jasmani, bisa makan dan minum, bisa mengenyam pendidikan, dan bisa mendapatkan berbagai kenikmatan dunia lainnya. Termasuk, kita wajib bersyukur karena kita menjadi Muslim. Suer, menjadi Muslim itu kebanggaan tersendiri dan tentu saja anugerah terindah yang kita miliki. Nggak bisa ditukar dengan duit sebesar apa pun. Itu sebabnya, kita wajib bersyukur.

Ya, jangan sampe kita bisa mengucap alhamdulillah hanya saat dapetin makanan dan minuman yang enak atau bentuk materi lainnya. Dan kita merasa inilah yang harus kita syukuri. Itu benar. Tapi, kalo menganggap bahwa kenikmatan hanya sebatas makanan dan minuman aja, kayaknya perlu di-upgrade deh pemahamannya. Karena Allah Swt. nggak cuma ngasih itu, tapi udah ngasih kita pendengaran, penglihatan, dan juga akal. Justru inilah pemberian yang termasuk berharga banget buat kita. Tentu, wajib kita bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut. Kalo nggak? Waduh, jangan sampe deh Allah Swt. murka kepada kita.

Seorang sahabat Nabi saw. bernama Abû Dardâ ra pernah mengatakan, “Barangsiapa yang tidak melihat (merasakan) nikmat yang Allah berikan kepadanya kecuali hanya pada makanan dan minumannya, maka sesungguhnya ilmu (ma’rifat-nya) sangat dangkal dan azab pun telah menantinya” (Abu Hayyân al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr, jilid 6, hlm. 441. Maktabah Tijâriyyah Musthafa al-Bâz)

Dalam al-Quran Allah azza wa jalla menyampaikan firmanNya:

قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَْبْصَارَ وَالأَْفْئِدَةَ قَلِيلاً مَا تَشْكُرُونَ

“Katakanlah: “Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal)”. Tetapi amat sedikit kamu bersyukur.” (QS al-Mulk [67]: 23)

Wah, wah, Allah seolah-olah ‘nyindir’ ama kita-kita nih kalo sampe kita nggak bersyukur kepadaNya. Tapi kalo dipikir-pikir emang bener juga sih. Manusia di seluruh dunia ini, kayaknya sedikit juga yang benar-benar bersyukur (lha, buktinya Allah Swt. menyatakan dalam firmanNya begitu). Silakan kamu tengok kanan-kiri, depan-belakang. Teman kita, tetangga kita, atau bahkan kita sendiri malah nggak bersyukur dengan nikmat ini. Duh, malu deh.

Kalo emang benar-benar bersyukur sih, kita harusnya bisa memanfaatkannya untuk kebaikan seraya memuji Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Swt. Memuji tentu bukan sekadar mengucap “alhamdulillah”, tapi juga terwujud dalam perilaku dan gaya hidup kita yang hanya mau diatur oleh Allah Swt.

Diatur? Yup, karena kita udah berjanji dalam sholat wajib lima waktu sehari. Paling nggak kan dalam sholat baca surat al-Fatihah sebanyak 17 kali sehari. Ada pengakuan jujur dari kita bahwa hanya Allah sajalah, tiada yang lain yang disembah dan dimintai pertolongan: “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”.

Dalam ilmu balaghah, untuk menggambarkan makna “membatasi” atau pengkhususan dikenal dengan istilah “Taqdiimu maa ahaqqohu at-ta’khiiru” (mendahulukan yang seharusnya diakhirkan). Seperti dalam kalimat “Iyyaka na’budu” (hanya Engkaulah yang kami sembah). Berarti ini menutup kemungkinan bagi yang lain yang akan kita sembah. Akan berbeda jika ditulis: “Na’budu iyyaka” (kami menyembahMu). Secara ilmu nahwu boleh juga ditulis seperti itu. Tapi rasa bahasanya lain, dan pernyataan itu masih ada kemungkinan untuk menyembah yang lain selain Allah.

Itu sebabnya, dalam hidup ini hanya kepada Allah sajalah kita menyerahkan segala urusan. Bukan kepada yang lain. Itu artinya pula, bahwa hanya kepada Allah sajalah kita menghaturkan pujian sebagai rasa syukur atas karuniaNya kepada kita selama ini.



Bersyukurkah kita?

Waduh, nggak berani deh tunjuk jari kalo diajukan pertanyaan seperti ini. Tapi, sejujurnya emang kepengen banget menjadi orang yang bersyukur. Bahkan ingin tetap menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah Swt.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang tokoh ulama terkemuka, menjelaskan bahwa hakikat syukur kepada Allah itu adalah tampaknya bekas nikmat Allah pada lisan sang hamba dalam bentuk pujian dan pengakuan, di dalam hatinya dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta, dan pada anggota tubuhnya dalam bentuk patuh dan taat. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Tahdzîb Madârij al-sâlikîn oleh Abdul Mun‘im al‘Izzî, hlm. 348)

So, kita bisa ngukur diri kita dengan penjelasan dari Ustadz Ibnu Qayyim ini. Lisan kita apakah selalu mengucap pujian dan pengakuan kepada Allah Swt. Sang Pemberi nikmat kepada kita? Apakah lisan kita terbiasa mengucapkan alhamdulillah? Atau malah nggak pernah sama sekali? Termasuk mengakui Allah Swt. sebagai Pencipta sekaligus yang memberi nikmat kepada kita? Pertanyaan ini cuma kita sendiri yang bisa jawab. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang bersyukur.

Terus, dalam hati kita, apakah udah kita wujudkan dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta kepada Allah Swt. Bersaksi bahwa tidak ada Dzat yang wajib disembah kecuali Allah Swt. Itu sebabnya, tumbuh rasa cinta yang paling kuat dan besar hanya kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah Swt. menjelaskan dalam firmanNya:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat (besar) cintanya kepada Allah.” (QS al-Baqarah [2]: 165)

Lalu, membekaskah rasa syukur kita kepada Allah dengan penampakkan anggota tubuh kita dalam bentuk patuh dan taat kepadaNya? Mari kita mengukur diri kita. Seberapa pantas kita bersyukur yang terwujud pada patuh dan taat kepada Allah Swt. Kita bisa bertanya, apakah selama ini, kita sudah patuh dan mentaati perintahNya? Sholat, puasa wajib Ramadhan, dan zakat pernah kita lakukan dengan sungguh-sungguh karena ketaatan dan kepatuhan kita kepadaNya?

Bagaimana dengan kehidupan kita? Apakah dalam kehidupan sehari-hari kita sudah mematuhi perintahNya? Kewajiban menutup aurat misalnya, udah ditetapkan Allah Swt. dan Rasulnya. Bagi anak cewek yang udah baligh, nggak boleh keluar rumah menampakkan auratnya. Jadi, harus ditutup tubuhnya dengan busana muslimah, yakni jilbab dan kerudung.

Anak cowok yang udah baligh juga sama, meski batasan auratnya nggak seketat anak cewek, anak cowok kalo keluar rumah daerah pusar ame lutut kudu tertutup. Karena itu auratnya. Kayaknya udah pada paham deh soal ini. Yang perlu diingatkan lagi tuh pengamalannya. Sebab, ngamalinnya emang yang rada-rada males, gitu. Pantesan Allah Swt. menyindir manusia karena ternyata sangat sedikit yang bersyukur kepadaNya.

Imam Ibn Qayyim dalam kitab yang sama lebih lanjut menjelaskan bahwa syukur itu mempunyai 5 (lima) pilar pokok yang apa bila salah satunya tidak terpenuhi maka syukur menjadi batal dan dianggap belum bersyukur.

Lima pilar pokok itu adalah: Pertama, kepatuhan orang yang bersyukur kepada Pemberi nikmat. Kedua, mencintaiNya. Ketiga, mengakui nikmat dariNya. Keempat, memujiNya atas nikmatNya. Dan yang kelima, tidak menggunakan nikmat yang diberikanNya untuk sesuatu yang tidak Dia sukai.

Sobat muda muslim, ini penting banget kita ketahui. Biar kita bisa bersyukur kepada Allah Swt. dan dengan cara yang benar. Khusus penjelasan terakhir dari pilar pokok bersyukur, yakni nggak menggunakan nikmat yang diberikanNya untuk sesuatu yang nggak Dia sukai. Jelas banget. Lha kalo ortu kita aja ngasih duit ke kita, terus duit itu kita gunakan buat hura-hura dan bahkan maksiat, pasti ortu kita marah besar. Nah, apalagi Allah Swt.? Tul nggak sih?

Seperti kemarin-kemarin ada syukuran atas kemerdekaan negeri ini. Acara “Tujuhbelasan” dirayakan dengan meriah di berbagai tempat. Sebagian besar dari kita suka-cita. Tapi, begitukah cara bersyukur? Atau pertanyaan yang seharusnya: “Benarkah sudah merdeka jika ketaatan, kepatuhan, dan penyerahan diri ditujukan bukan kepada Allah Swt? Benarkah kita harus merasa bergembira dan bersyukur sementara aturan Sang Pemberi nikmat malah dicampakkan? Lalu setia diatur oleh sistem Kapitalisme-sekularisme dengan instrumen politiknya bernama demokrasi?” Ah, betapa akan murka Allah Swt. kepada kita. Naudzubillahi min dzalik.

Terusirnya penjajah dari negeri kita memang anugerah. Tapi, kalo kemudian pemberian itu malah diisi dengan cara menjadikan hukum selain Allah sebagai pengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, ya tentunya belum dikatakan bersyukur. Karena udah mengkhianati Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Swt., ketika kita nggak mau diatur oleh syariatNya. Nggak adil en nggak pantes mengkhianati Allah Swt. Tolong catet ye.



Bersyukur dan ridha dengan aturanNya

Yuk, kita bersyukur. Baik dalam lisan, hati, dan perbuatan kita. Harus kita wujudkan tuh jika benar-benar mengakui dan mencintai Allah Swt. yang udah ngasih begitu banyak nikmat kepada kita sebagai manusia. Bukan cuma karena kita Muslim. Sebab, al-Quran sebenarnya adalah kabar gembira dan peringatan bagi manusia secara umum. Manusia yang sadar dan beriman tentu beda banget dengan yang nggak sadar dan nggak beriman. Tul nggak sih? So, jangan sampe menunggu Allah murka kepada kita gara-gara kita nggak bersyukur dengan benar kepadaNya.

Sobat muda muslim, pembuktian kalo kita bersyukur itu adalah tunduk dan patuh kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Itu sebabnya, jangan coba-coba malapraktik dengan cara kita sendiri untuk ngatur kehidupan manusia. Pedoman hidup kita cukup al-Quran saja. Bukan aturan yang lain. Allah menjelaskan dalam firmanNya:

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

“Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,” (QS al-Israa’ [17]: 9)

Dalam ayat lain Allah Swt. menyampaikan (artinya): “Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS al-Baqarah [2]: 2)

Jadi, Allah Swt. memang meminta kita mentaati petunjukNya. Tapi kalo kita bandel, malah memilih petunjuk selain aturan Allah untuk jalan hidup kita, berarti kita belum bersyukur dan justru malah mengkhianatiNya.

Allah Swt. mengingatkan kita dengan firmanNya (yang artinya): “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, (dengan) kesesatan yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 36)

Oke deh sobat, semoga kita menjadi hamba yang bersyukur dan taat kepadaNya. Amin.



0 comments:

Post a Comment