Facebook

Sunday, 21 March 2010

ANTARA BANYAK DAN SEDIKIT

Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi

Di antara kaidah yang diterapkan ulama adalah, bahwa "merebaknya suatu
perbuatan tidak menunjukkan atas kebolehannya, sebagaimana tersembunyinya
suatu perbuatan tidak menunjukkan atas dilarangnya."[1]

Ibnu Muflih dalam Al-Adab Asy-Syar'iyyah (I/163) berkata, "Seyogyanya
diketahui bahwa hal yang dilakukan banyak manusia adalah bertentangan dengan
ketentuan syar'i dan hal tersebut masyhur di antara mereka dan banyak
manusia yang melakukannya. Yang wajib bagi orang yang arif adalah tidak
mengikuti mereka, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan janganlah dia
terpengaruh oleh hal tersebut setelah tersebar jika dalam kesendirian dan
sedikitnya kawan.

Syaikh Muhyiddin An-Nawawi berkata, "Janganlah manusia terpedaya oleh
banyaknya orang yang melakukan sesuatu yang dilarang melakukannya, yaitu
kepadanya oleh orang yang tidak menjaga adab-adab ini. Laksanakanlah apa
yang dikatakan Fudhail bin 'Iyadh, 'Janganlah kamu menganggap buruk
jalan-jalan kebaikan karena sedikitnya orang yang melakukannya, dan
janganlah kamu terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang binasa'." [2]

Abu Wafa' bin 'Uqail dalam Al-Funun berkata, "Barangsiapa yang keyakinannya
lahir dari bukti-bukti dalil, maka akan hilang pada diri sikap ikut arus dan
terpengaruh oleh perubahan kondisi orang banyak.

Firman-Nya, "Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)?" [Ali 'Imran : 144]

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu adalah orang yang kokoh pendiriannya
dalam berbagai keadaan, berbeda-beda berbagai kondisi tidak menjadikannya
goyah ketika kaki-kaki jatuh tergelincir."

Sampai dia berkata, "Dan terkadang seseorang Muslim sampai dipersempit
kehidupannya. Dan sesungguhnya agama kami berlandaskan pada mengambil dunia
dan kebaikan akhirat, maka siapat yang mencari kehidupan dunia dengan cara
meninggalkan kebaikan akhirat maka dia salah jalan."

Jika kita telah mengetahui hal tersebut maka tampak kebatilan argumen yang
dibuat orang banyak yang jatuh ke dalam sebagian bid'ah dan hal-hal yang
baru, "Bahwa mayoritas manusia melakukan ini," atau alasan-alasan lain yang
batil dan penakwilan-penakwilan yang tumpul.

Dalam buku saya "Dzam Al-Katsrat wal Mutakatstsirin" terdapat banyak
keterangan dari ayat Al-Qur'an dan hadits yang mengecam orang yang terpedaya
dengan paham mayoritas dan bangga dengan memperbanyak amal.

Al-'Allamah Ibnul Qayyim dalam "Ighatsah Al-Lahfan min Masyahid
Asy-Syaithan" (hal. 132-135 -Mawarid Al-Aman) berkata.

"Orang yang cermat pandangannya dan benar imannya tidak akan merasa gelisah
karena sedikitnya kawan dan bahkan dari tiadanya kwan jika hatinya telah
merasa berteman dengan generasi pertama dari orang-orang yang diberikan
nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang membenarkan,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh, dan mereka itulah
sebaik-baik teman. Maka kesendirian seseorang dalam pencariannya sebagai
bukti kesungguhan dia dalam mencari kebenaran.

Ishaq bin Rahawaih pernah ditanya tentang suatu masalah, lalu dia menjawab.
Maka dikatakan kepadanya, "Sesungguhnya saudaramu Ahmad bin Hanbal
mengatakan masalah ini seperti itu." Maka dia menjawab, "Saya tidak
menyangka bahwa seseorang sepakat denganku dalam masalah ini."

Dia tidak merasa kesepian setelah tampak kebenaran baginya meskipun tidak
ada yang sependapat dengannya. Sesungguhnya kebenaran jika telah tampak
dengan jelas, maka tidak membutuhkan saksi yang mendukungnya. Sebab hati
melihat kebenaran sebagaimana mata melihat matahari. Maka, jika seseorang
telah melihat matahari, dan berdasarkan keilmuan dan keyakinannya bahwa
matahari telah terbit, maka dia tidak membutuhkan saksi untuk itu dan tidak
membutuhkan orang untuk menyetujui atas apa yang dilihatnya.

Betapa bagusnya apa yang dikatakan Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma'il yang
terkenal dengan Abu Syamah [3] dalam kitabnya tentang hal-hal baru dan
bentuk-bentuk bid'ah [4], terdapat perintah memegang teguh jama'ah. Maka
yang dimaksud denganya adalah, memegang teguh kebenaran dan mengikutinya,
meskipun orang yang berpegang teguh kepadanya sedikit, sedangkan orang yang
melanggarnya banyak. Sebab kebenaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh
jama'ah pertama pada masa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dan shahabatnya,
dan tidak diukur oleh banyaknya orang yang mengikuti bid'ah mereka.

'Amr bin Maimun Al-Audi berkata, "Saya telah menyertai Mu'adz di Yaman, dan
saya tidak berpisah dengannya hingga saya menguburkannya di Syam. Kemudian
setelah itu, saya selalu menyertai orang terpandai dalam ilmu fiqh, Abdullah
bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, maka saya mendengar dia berkata, "'Hendaklah
kalian memegang teguh jama'ah. Sebab tangan Allah di atas jama'ah.' Pada
suatu hari saya mendengar dia berkata, 'Akan memimpin kalian para pemimpin
yang mengakhirkan shalat dari waktunya, maka shalatlah kalian tepat pada
waktunya, sebab demikian itu adalah yang wajib, dan shalatlah kalian bersama
mereka karena shalat itu bagi kalian adalah tambahan (sunnah).' Saya
berkata, 'Wahai shahabat Muhammad! Aku tidak mengerti apa yang kamu
bicarakan kepada kami?' Ia berkata, "Apakah itu?' Saya berkata, 'Engkau
memerintahkan aku berjama'ah dan menghimbauku kepadanya kemudian kamu
berkata, 'Shalatlah kamu sendirian, dan demikian itu adalah yang wajib, dan
shalatlah kalian bersama jama'ah, dan dia sunnah?' Ia berkata, 'Wahai 'Amr
bin Maimun. Saya mengira kamu orang yang terpandai tentang fiqh dari
penduduk negeri ini. Kamu mengerti, apa jama'ah itu?' Saya berkata, 'Tidak.'
Ia berkata, 'Sesungguhnya mayoritas masyarakat adalah orang-orang yang
berpaling dari jama'ah. Jama'ah adalah sesuatu yang sesuai kebenaran,
meskipun kamu hanya sendirian'." [Diriwayatkan oleh Al-Lalikai dalam
As-Sunnah nomor 160, dan lihat buku saya Ad-Da'wah Ilallah 89-95 pasal
Al-Jama'ah Musthalah wa Bayan.]

Dalam riwayat lain disebutkan, "Maka dia memukul pahaku dan berkata,
'Celakalah kamu! Sesungguhnya mayoritas manusia berpaling dari jama'ah.
Sesungguhnya jama'ah adalah apa yang sesuai dengan keta'atan kepada Allah
'Azza wa Jalla'."

Nu'aim bin Hammad berkata, "Yakni, jika jama'ah telah rusak, maka kamu harus
memegang teguh apa yang telah dilakukan jama'ah ketika sebelum rusak,
meskipun kamu sendirian, maka sesungguhnya ketika itu kamu adalah jama'ah."

Hasan Al-Bashri berkata, 'Sunnah itu -demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia-
di antara orang yang berlebih-lebihan dan orang yang meremehkan. Maka
bersabarlah kalian di atasnya, semoga Allah merahmati kalian. Sebab Ahlus
Sunnah adalah minoritas di antara manusia pada masa lalu dan mereka juga
manusia minoritas pada masa sesudahnya. Yaitu orang-orang yang tidak pergi
bersama orang-orang yang bermewah-mewahan dalam kemewahan mereka, dan juga
tidak besama orang-orang yang mengikuti bid'ah dalam kebid'ahan mereka, dan
mereka sabar atas Sunnah hingga bertemu dengan Tuhan mereka. Maka dalam
keadaan demikianlah kalian harus berada, insya Allah.'

Muhammad bin Aslam Ath-Thusi [5], seorang imam yang disepakati keimamannya
adalah orang yang paling mengikuti sunnah pada masanya, hingga dia berkata,
"Tidak sampai kepadaku Sunnah dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
melainkan saya mengamalkannya. Dan sungguh saya ingin thawaf di Ka'bah
dengan naik unta, namun tidak memungkinkan bagi saya untuk melakukannya.
Hingga sebagai ulama pada msanya ditanya tentang As-Sawad Al-'Azham yang
disebutkan dalam hadits.

"Jika manusia berselisih maka hendaklah kalian memegang teguh As-Sawad
Al-'Azham." [HR. Ibnu Majah 2950, Ibnu Abi 'Ashim 84 dan Al-Lalikai 153 dari
Anas, dan sanadnya sangat dha'if. Sebab di dalamnya terdapat Abu Khalaf al-
Makfuf yang nama aslinya Hazim bin 'Atha'. Ia ditinggalkan sekelompok ulama
dan dinyatakan pendusta oleh Ibnu Ma'in.]

Maka dia berkata, "Muhammad bin Aslam Ath-Thusi adalah As-Sawad Al-'Azham."
[Hilyah Al-Auliya IX/238-239 dan darinya Adz-Dzahabi meriwayatkannya dalam
Siyar An-Nubala' XII/196]

Benar, demi Allah, bahwa di satu masa bila di dalamnya terdapat orang yang
mengerti Sunnah dan menda'wahkannya, maka dia adalah hujjah, ijma', jama'ah,
dan jalan orang-orang Mukmin, barangsiapa memisahkandiri darinya dan
mengikuti yang lainnya, maka Allah akan memalingkan dia kepada apa yang dia
berpaling dan Allah akan memasukkan dia ke Jahannam, seburuk-buruknya tempat
kembali." [Sebagaimana diisyaratkan dalam surat An-Nisa' :115]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata [Ighatsah Al-Lahfan:271-273],

"Barangsiapa yang mempunyai pengalaman tentang ajaran yang Allah mengutus
Rasul-Nya dengannya dan apa yang dilakukan orang-orang musyrik dan Ahli
Bid'ah pada hari ini, niscaya dia akan mengetahui bahwa antara salaf dan
mereka yang meninggalkannya terdapat jarak yang jauh lebih jauh daripada
jarak antara timur dan barat, dan bahwa mereka pada sesuatu, sedangkan salaf
pada sesuatu yang lain, seperti dikatakan.

"Ia berjalan ke timur dan kamu berjalan ke barat
Betapa jauhnya antara timur dan barat.'

Dan perkaranya -demi Allah- lebih besar dari apa yang telah kami sebutkan.

Sesungguhnya Imam Bukhari dalam Ash-Shahih [II/115] menyebutkan riwayat dari
Ummu Darda' radhiallahu 'anha, ia berkata, "Abu Darda' mendatangi saya
dengan marah, maka saya berkata kepadanya, 'Ada apa?' Ia berkata, "Demi
Allah, saya tidak mengetahui pada mereka sesuatu pun dari perkara Muhammad
shalallahu 'alaihi wasallam kecuali mereka semua mengerjakan shalat."

Imam Bukhari [6] juga menyebutkan bahwa Az-Zuhri berkata, "Saya mendatangi
Anas bin Malik di Damaskus dan dia sedang menangis. Maka saya berkata
kepadanya, "Apa yang menyebabkan anda menangis?" Ia berkata, "Saya tidak
mengetahui sesuatu tentang apa yang saya dapatkan kecuali shalat ini, dan
shalat ini pun telah disia-siakan."

"Ini adalah fitnah terbesar yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas'ud
radhiallahu 'anhu, "Bagaimana jika kalian telah diliputi fitnah di mana
orang menjadi tua dan anak keci tumbuh berkembang di dalamnya, dia berjalan
pada manusia dan mereka menjadikannya sebagai sunnah, ketika hal itu diubah,
dikatakan, "Sunnah telah diubah?" atau, "Ini adalah kemungkaran." [HR.
Ad-Darimi I/64 dan Al-Hakim IV/514 dan lihat takhrijnya dalam buku saya
Arba'i Asy-Syakhsyiyyah Al-Islamiyyah no. 40.]

"Ini adalah salah satu dalil bahwa amal jika tidak sesuai Sunnah, maka tidak
ada nilainya dan tidak boleh diperhatikan. Juga sebagai bukti bahwa amal
tersebut telah berjalan pada arah yang berbeda dengan arah Sunnah sejak masa
Abu Darda' dan Anas."[7]

Abul Abbas Ahmad bin Yahya [8] berkata, "Muhammad bin Ubaid bin Maimun
bercerita kepadaku dari Abdullah bin Ishaq Al-Ja'fari, ia berkata, "Abdullah
bin Hassan banyak duduk bersama Rabi'ah. Ia berkata, 'Lalu pada suatu hari
mereka menyebut tentang berbagai sunnah, maka seseorang yang ada di majelis
itu berkata, 'Apa yang dilakukan oleh manusia tidak seperti ini!' Maka
Abdullah berkata, 'Bagaimana pendapatmu jika banyak orang bodoh berlaku
sebagai para hakim, apakah mereka menjadi hujjah atas As-Sunnah?' Maka
Rabi'ah berkata, "Saya bersaksi bahwa ini adalah ucapan anak-anak para
Nabi." [Al-Ba'its 'ala A'lam Inkar Al-Bida' wal Hawadits hal. 51 oleh Abu
Syamah.]

Maka, seorang Muslim yang sejati adalah orang yang tidak terkontaminasi oleh
maraknya bentuk-bentuk bid'ah dalam memahami bentuk-bentuk sunnah. Sebab
hal-hal yang telah mentradisi sebagaimana dia itu membangun beberapa pokok,
dia juga menghancurkan beberapa pokok, dan dia sangat mendominasi. Maka,
melepaskan dari cengkramannya membutuhkan latihan jiwa dan memaksakan diri
dalam melaksanakan segala bentuk sunnah. [Lihat Marwiyyat Du'a Khatmi
Al-Qur'an hal. 75 oleh Syaikh Bakar bin Abu Zaid]

Betapa indahnya riwayat yang disebutkan Al-Imam Al-Khathib Al-Baghdadi dalam
Syaraf Ashhab Al-Hadits (hal. 7) dengan sanad shahih dari Al-Auza'i
rahimahullah,

"Hendaklah kamu berpegang dengan riwayat-riwayat dari salaf, meskipun
manusia menolak kamu, dan hindarilah olehmu pendapat-pendapat manusia,
meskipun mereka menghiasinya kepadamu dengan perkataan yang manis."

Dan Allah adalah yang memberikan petunjuk kepada jalan kebenaran.



0 comments:

Post a Comment